MATURASI PARU JANIN
Organogenesis paru janin dapat dibagi menjadi lima tahapan yang berbeda.
Tahapan awal meliputi fase embrionik (hari ke 26 hingga
52)
dan fase pseudoglanduler (hari ke 52 hingga
akhir minggu ke-16 kehamilan) yang berikutnya adalah fase kanalikuler (17
hingga 26 minggu kehamilan), fase sakuler (26 hingga 36 minggu kehamilan) dan
terakhir adalah fase alveolar (36 minggu sampai 24 bulan postnatal) (Jobe,
2006).
1. Fase embrional
Pada fase embrional paru pertama kali muncul sebagai sebuah ventral bud yang terpisah dari esofagus
dan kaudal dari sulkus laringotrakheal.
Celah antara bud paru dan esofagus akan semakin dalam, disertai dengan semakin memanjangnya bud dan mesenkim dan semakin
terpisah membentuk calon bronkhi.
2. Fase pseudoglanduler
Fase ini dicirikan dengan pembelahan yang cepat membentuk 15 hingga 20
saluran udara. Saluran udara yang terbentuk dilapisi oleh selapis sel kuboid yang
kaya akan glikogen. Diferensiasi sel berlangsung secara sentrifugal dimana pada
bagian distal tubulus dilapisi oleh sel yang semakin tidak terdiferensiasi.
Pembuluh darah arteri dan paru juga berkembang seiring dengan perkembangan
saluran udara. Di akhir fase pseudoglanduler saluran udara, arteri dan vena
telah berkembang menyerupai pola yang ditemukan pada paru dewasa. Pada fase ini
pula diafragma terbentuk dan memisahkan rongga dada dan abdomen, kegagalan
penutupan akan menyebabkan hernia diafragma dan hipoplasia paru.
3. Fase kanalikuler
Fase kanalikuler, antara 17 hingga 26 minggu kehamilan, menunjukkan
perubahan dari paru yang praviabel menjadi paru yang berpotensi viabel dengan
kemampuannya untuk melakukan pertukaran gas. Perubahan utama yang terjadi pada
fase ini adalah terbentuknya asinus, diferensiasi epitel dengan pembentukan
sawar udara-darah (airblood barrier)
dan dimulainya sintesis surfaktan di sel tipe II. Asinus muncul sebagai sebuah
jonjot di bagian distal saluran udara yang berasal dari sebuah bronkiolus
terminalis. Perkembangan asinus merupakan tahapan penting dalam kemampuan paru
untuk melakukan pertukaran gas di masa berikutnya.
Lapisan mesenkim yang melapisi sekitar saluran udara awalnya miskin akan
vaskularisasi menjadi lebih kaya akan pembuluh darah. Pada fase ini juga
terbentuk daerah permukaan calon tempat terjadinya pertukaran gas. Diferensiasi
epitel dicirikan oleh penipisan dari proksimal ke distal dengan perubahan sel dari epitel
kuboid menjadi epitel tipis yang melapisi rongga saluran udara. Saluran udara
ini semakin bertambah dalam hal panjang dan diameter dengan perubahan mesenkim
yang menjadi semakin kaya akan vaskularisasi. Setelah usia kehamilan 20 minggu
sel kuboid yang kaya akan glikogen ini akan mulai membentuk badan lamellar
dalam sitoplasmanya menandakan dimulainya produksi surfaktan.
4. Fase sakuler
Fase ini merupakan fase perkembangan paru pada janin yang dianggap
viabel yaitu pada usia kehamilan 26 hingga 36 minggu. Sakulus merupakan
struktur terminal dari paru janin, yang terdiri dari tiga tahapan pembentukan,
yaitu bronkiolus repiratorik, duktus alveolaris, baru kemudian terjadi septasi
sekunder dari sakulus yang akan membentuk alveoli. Pada fase ini ruang udara
meningkat dari 65.000 pada usia kehamilan 18 minggu menjadi hingga 4 juta pada
usia kehamilan 32-36 minggu. Mikrosvaskularitas juga meningkat, yang berarti
terjadi peningkatan area tempat pertukaran gas.
5. Fase alveolar
Alveolarisasi dimulai pada usia kehamilan 32 hingga 36 minggu dari sakulus
terminalis dengan munculnya septa yang mengandung kapiler, serat elastin, dan
kolagen. Sakulus dan alveoli yang baru terbentuk secara cepat mengalami septa
septasi membentuk 100 juta aleveoli pada aterm dan sekitar 500 juta alveoli
pada orang dewasa. Kecepatan pembentukan alveoli maksimal terjadi pada antara
usia kehamilan 36 minggu hingga beberapa bulan setelah lahir dan selesai pada
sekitar usia 2 tahun. Jika proses alveolarisasi terganggu kemungkinan terjadi
efek buruk jangka pendek dan jangka panjang pada fungsi paru bayi baru lahir.
Sejumlah tindakan intervensi klinis dan bahan kimia diketahui dapat mengganggu
proses alveolarisasi. Hiperoksia, hipoksia dan ventilasi mekanis dapat mempengaruhi alveolarisasi. Glukokortikoid dapat
menyebabkan terhentinya proses alveolarisasi. Glukokortikoid menyebabkan
abnormalitas permanen pada alveoli dan pembuluh darah pada tikus percobaan.
Glukokortikoid yang diberikan pada monyet percobaan pada fase sakuler
mengurangi mesenkim dan membuat paru tampak lebih matur, namun pada saat
mencapai aterm paru memiliki volume gas yang lebih rendah dan jumlah alveoli
yang lebih sedikit. Sedangkan pada domba pemberian glukokortikoid dosis tunggal
atau berulang menyebabkan penurunan jumlah alveoli dan peningkatan ukuran alveoli
setelah terjadi persalinan preterm. Namun pada saat aterm jumlah alveoli
ditemukan normal, menunjukkan bahwa pemulihan dari inhibisi perkembangan
alveoli adalah dimungkinkan (Jobe, 2009).
6. Fisiologi Pernapasan Neonatus
Saat bayi dilahirkan dan sirkulasi fetoplasenta berhenti berfungsi, bayi
tersebut mengalami perubahan fisiologik yang besar sekali dalam waktu yang
sangat cepat. Dalam beberapa menit setelah lahir, sistem pernapasan harus mampu
memberikan oksigen dan mengeliminasi karbondioksida. Kelangsungan hidup bayi
tersebut tergantung pada kecepatan dan keteraturan pertukaran oksigen dan
karbondioksida antara lingkungan barunya dan sirkulasi paru-paru yang terisi
cairan harus diisi dengan udara, udara harus dipertukarkan dengan gerakan
pernapasan yang tepat, dan mikrosirkulasi yang baik harus diciptakan di sekitar
alveoli tersebut. Segera setelah lahir, pola pernapasan bergeser dari satu
inspirasi episodik dangkal, yang khas pada pernapasan janin, menjadi pola
inhalasi lebih dalam dan teratur. Sekarang jelas bahwa aerasi paru-paru
neonatus bukan inflasi dari suatu struktur yang kolaps, melainkan pergantian
cepat cairan bronkhial dan alveoli dengan Udara.
Percobaan pada domba, dan diperkirakan juga pada bayi manusia, cairan
alveoli yang tersisa setelah kelahiran dibersihkan melalui sirkulasi paru dan
pada tingkat yang lebih kecil, melalui sistem limfatik paru. Karena cairan
digantikan dengan udara, terdapat pengurangan cukup besar kompresi vaskuler
paru dan selanjut, menurunkan tahanan aliran darah. Dengan menurunnya aliran
cairan darah arteri pulmonalis, duktus arteiosus normalnya menutup. Penutupan
foramen ovale lebih variabel. Tekanan negatif yang tinggi pada rongga dada
diperlukan untuk menghasilkan suplai udara pertama kali ke dalam alveoli yang
terisi cairan. Normalnya, dari pernapasan pertama setelah lahir ini, secara
progesif lebih banyak udara residual berkumpul di dalam paru-paru, dan setiap
pernapasan berikutnya, diperlukan tekanan pembukaan paru-paru, yang lebih
rendah. Pada bayi aterm normal, pada sekitar pernafasan kelima, perubahan
tekanan-volume yang dicapai pada setiap respirasi sangat serupa dengan orang
dewasa normal. Surfaktan menurunkan tegangan permukaan alveoli oleh karena itu
mencegah terjadinya kolaps paru pada setiap ekspirasi. Tidak adanya surfaktan
yang cukup menyebabkan timbulnya RDS dengan cepat (Alibasya, 2005).
Dari temuan eksperimental sintesis surfaktan distimulasi oleh berbagai
macam hormon, growth factor, dan
faktor transkripsi termasuk diantaranya glukokortikoid, hormon tiroid, thyrotropin-releasing hormone (TRH),
prolaktin, cyclicadenosine monophosphate (cAMP),
asam retinoat, epidermal growth factor,
dan thyroid transcription factor. Diantara faktor-faktor tersebut
glukokortikoid paling banyak
diteliti. Pemberian glukokortikoid memberikan efek berupa perubahan morfologi
yang menandakan terjadinya akselerasi terhadap maturasi paru meliputi alveoli
yang membesar, septa interalveoler yang lebih tipis, peningkatan jumlah sel
tipe 2, dan jumlah lamellar body di dalamnya. Sebagai tambahan, glukokortikoid juga meningkatkan biosintesis fosfolipid juga protein-protein surfaktan.
7.
Respiratory Distress Syndrome (RDS) pada
bayi prematur
Sindrom gangguan napas ataupun sering disebut sindrom gawat napas (respiratory distress syndrome/RDS)
adalah istilah yang digunakan untuk disfungsi pernapasan pada neonatus.
Gangguan ini merupakan penyakit yang berhubungan dengan keterlambatan
perkembangan maturitas paru (Whalley dan Wong, 1995). Gangguan ini biasanya
juga dikenal dengan nama hyaline membrane disease (HMD) atau penyakit membran
hialin, karena pada penyakit ini selalu ditemukan membran hialin yang melapisi
alveoli. Sindrom gangguan pernapasan adalah kumpulan gejala yang terdiri dari
dispnea atau hiperapnea dengan frekuensi pernapasan lebih dari 60 kali/menit,
sianosis, rintihan pada ekspirasi dan kelainan otot-otot pernapasan pada
inspirasi
Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya untuk
berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan faktor
kritis dalam terjadi RDS, ketidaksiapan paru menjalankan fungsinya tersebut
disebabkan oleh kekurangan atau tidak adanya surfaktan. Surfaktan adalah
substansi yang merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi
kolaps pada akhir ekspirasi dan mampu menahan sisa udara fungsional /kapasitas
residu funsional (Ilmu Kesehatan Anak, 1985). Surfaktan juga menyebabkan
ekspansi yang merata dan menjaga ekspansi paru pada tekanan intraalveolar yang
rendah. Kekurangan
atau ketidakmatangan fungsi surfaktan menimbulkan ketidakseimbangan
inflasi saat inspirasi dan kolaps alveoli saat ekspirasi. Bila surfaktan tidak
ada, janin tidak dapat menjaga parunya tetap mengembang. Oleh karena itu, perlu
usaha yang keras untuk mengembangkan parunya pada setiap hembusan napas
(ekspirasi) sehingga untuk pernapasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar dengan disertai usaha
inspirasi yang lebih kuat. Akibatnya, setiap kali bernapas menjadi sukar
seperti saat pertama kali bernapas (saat kelahiran). Sebagai akibat, janin
lebih banyak menghabiskan oksigen untuk menghasilkan energi ini daripada yang
ia terima dan ini menyebabkan bayi kelelahan. Dengan meningkatnya kelelahan,
bayi akan semakin sedikit membuka alveolinya. Ketidakmampuan mempertahankan
pengembangan paru ini dapat menyebabkan atelaktasis. Tidak adanya stabilitas
dan atelektasis akan meningkatkan pulmomary
vascular resistance (PVR) yang nilainya menurun pada ekspansi paru normal.
Akibatnya, terjadi hipoperfusi jaringan paru dan selanjutnya menurunkan aliran
darah pulmonal. Di samping itu, peningkatan PVR juga menyebabkan pembalikan
parsial sirkulasi darah janin dengan arah aliran dari kanan ke kiri melalui
duktus arteriosus dan foramen ovale.
Kolaps baru (atelektasis) akan menyebabkan gangguan ventilasi pulmonal yang
menimbulkan hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah konstriksi vaskularisasi
pulmonal yang menimbulkan penurunan oksigenasi jaringan dan selanjutnya
menybabkan metabolisme anareobik.
Pengukuran produksi surfaktan paru merupakan metode paling efektif untuk
mengevaluasi tingkat kematangan paru. Meskipun tes kematangan paru janin sudah
ditemukan lebih dari dua puluh tahun yang lalu, namun tingkat sensitivitas dan
spesifisitasnya masih rendah
Salah satu tes yang paling mudah dan cepat
dilakukan untuk
menentukan tingkat kematangan paru adalah gastric shake test (GST).
Tes ini dapat digunakan untuk menilai adanya
surfaktan dalam paru-
paru bayi saat lahir dan menentukan tingkat
maturitas paru. Prinsip dari
tes
ini adalah melihat
kemampuan surfaktan
pada cairan amnion
untuk
membentuk gelembung yang
stabil ketika dicampur
etanol
yang diambil dari aspirat lambung melalui nasogastrik tube
(Noorishadkam, et al., 2014)
Prosedur dari GST ini adalah:
1. Tuangkan 0,5 ml aspirat lambung pada test
tube
2. Tambahkan 0,5 ml normal saline
3. Kocok selama 15 detik
4. Tambahkan 1 ml alcohol 95 %
5. Kocok selama 15 detik dan lihat hasilnya selama
15 menit
Interpretasi GST:
Neonatus imatur: tidak ada gelembung, 60 %
terjadi HMD.
+1 gelembung sangat kecil pada meniskus (lebih dari 1/3) 20%
terjadi risiko HMD
+2 gelembung
1 deret, lebih dari 1/3 permukaan tabung
+3 gelembung satu deret pada seluruh permukaan dan beberapa gelembung pada
dua deret terjadi HMD 1%.
+4 gelembung pada dua deret atau lebih Paru
neonatus matur
Berbeda dengan hasil penelitian Noorishadkam,et al. (2014) yang menyatakan bahwa GST merupakan tes yang memiliki
tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk memprediksi terjadinya
RDS, penelitian dari Merpisheh, et al.,(2015)
yang menyatakan bahwa GST bukan merupakan metode yang akurat untuk
memprediksi kurangnya surfaktan paru pada bayi baru lahir.
Derajat beratnya distress nafas dapat dinilai dengan menggunakan skor
Silverman-Anderson dan skor Downes. Skor Silverman-Anderson lebih sesuai
digunakan untuk bayi prematur yang menderita hyaline membrane disease (HMD), sedangkan skor Downes merupakan
sistem skoring yang lebih komprehensif dan dapat digunakan pada semua usia
kehamilan. Penilaian dengan sistem skoring ini sebaiknya dilakukan tiap
setengah jam untuk menilai progresivitasnya
Pemeriksaan
|
Skor
|
|||
0
|
1
|
2
|
||
Frekuensi napas
|
< 60 /menit
|
60-80 /menit
|
> 80/menit
|
|
Retraksi
|
Tidak ada retraksi
|
Retraksi ringan
|
Retraksi berat
|
|
Sianosis
|
Tidak ada sianosis
|
Sianosis hilang
|
Sianosis menetap
|
|
dengan
02
|
walaupun diberi
|
|||
O2
|
||||
Air entry
|
Udara masuk
|
Penurunan ringan
|
Tidak ada udara
|
|
udara masuk
|
masuk
|
|||
Merintih
|
Tidak merintih
|
Dapat didengar
|
Dapat didengar
|
|
dengan stetoskop
|
tanpa alat bantu
|
Skor > 6 : Ancaman gagal
nafas
Irrespective of receiving daily oral or future injectable depot therapies, these require health care visits for medication and monitoring of safety and response. If patients are treated early enough, before a lot of immune system damage has occurred, life expectancy is close to normal, as long as they remain on successful treatment. However, when patients stop therapy, virus rebounds to high levels in most patients, sometimes associated with severe illness because i have gone through this and even an increased risk of death. The aim of “cure”is ongoing but i still do believe my government made millions of ARV drugs instead of finding a cure. for ongoing therapy and monitoring. ARV alone cannot cure HIV as among the cells that are infected are very long-living CD4 memory cells and possibly other cells that act as long-term reservoirs. HIV can hide in these cells without being detected by the body’s immune system. Therefore even when ART completely blocks subsequent rounds of infection of cells, reservoirs that have been infected before therapy initiation persist and from these reservoirs HIV rebounds if therapy is stopped. “Cure” could either mean an eradication cure, which means to completely rid the body of reservoir virus or a functional HIV cure, where HIV may remain in reservoir cells but rebound to high levels is prevented after therapy interruption.Dr Itua Herbal Medicine makes me believes there is a hope for people suffering from,Parkinson's disease,Schizophrenia,Lung Cancer,Breast Cancer,psoriasis,Colo-Rectal Cancer,Blood Cancer,Prostate Cancer,siva.Fatal Familial Insomnia Factor V Leiden Mutation ,Epilepsy Dupuytren's disease,Desmoplastic small-round-cell tumor Diabetes ,Coeliac disease,Creutzfeldt–Jakob disease,Cerebral Amyloid Angiopathy, Ataxia,Arthritis,Amyotrophic Lateral Scoliosis,Fibromyalgia,Fluoroquinolone Toxicity
ReplyDeleteSyndrome Fibrodysplasia Ossificans ProgresSclerosis,Alzheimer's disease,Adrenocortical carcinoma.Asthma,Allergic diseases.Hiv_ Aids,Herpe ,Copd,Glaucoma., Cataracts,Macular degeneration,Cardiovascular disease,Lung disease.Enlarged prostate,Osteoporosis.Alzheimer's disease,
Dementia.(measles, tetanus, whooping cough, tuberculosis, polio and diphtheria),Chronic Diarrhea,
Hpv,All Cancer Types,Diabetes,Hepatitis,I read about him online how he cure Tasha and Tara so i contacted him on drituaherbalcenter@gmail.com / info@drituaherbalcenter.com. even talked on whatsapps +2348149277967 believe me it was easy i drank his herbal medicine for two weeks and i was cured just like that isn't Dr Itua a wonder man? Yes he is! I thank him so much so i will advise if you are suffering from one of those diseases Pls do contact him he's a nice man.