Maturasi Paru Janin ~ Kedokteran dan Kesehatan

Tuesday, September 4, 2018

Maturasi Paru Janin


MATURASI PARU JANIN

Organogenesis paru janin dapat dibagi menjadi lima tahapan yang berbeda. Tahapan awal meliputi fase embrionik (hari ke 26 hingga

52)     dan fase pseudoglanduler (hari ke 52 hingga akhir minggu ke-16 kehamilan) yang berikutnya adalah fase kanalikuler (17 hingga 26 minggu kehamilan), fase sakuler (26 hingga 36 minggu kehamilan) dan terakhir adalah fase alveolar (36 minggu sampai 24 bulan postnatal) (Jobe, 2006).




1. Fase embrional

Pada fase embrional paru pertama kali muncul sebagai sebuah ventral bud yang terpisah dari esofagus dan kaudal dari sulkus laringotrakheal. Celah antara bud paru dan esofagus akan semakin dalam, disertai dengan semakin memanjangnya bud dan mesenkim dan semakin terpisah membentuk calon bronkhi.


2. Fase pseudoglanduler

Fase ini dicirikan dengan pembelahan yang cepat membentuk 15 hingga 20 saluran udara. Saluran udara yang terbentuk dilapisi oleh selapis sel kuboid yang kaya akan glikogen. Diferensiasi sel berlangsung secara sentrifugal dimana pada bagian distal tubulus dilapisi oleh sel yang semakin tidak terdiferensiasi. Pembuluh darah arteri dan paru juga berkembang seiring dengan perkembangan saluran udara. Di akhir fase pseudoglanduler saluran udara, arteri dan vena telah berkembang menyerupai pola yang ditemukan pada paru dewasa. Pada fase ini pula diafragma terbentuk dan memisahkan rongga dada dan abdomen, kegagalan penutupan akan menyebabkan hernia diafragma dan hipoplasia paru.


3. Fase kanalikuler

Fase kanalikuler, antara 17 hingga 26 minggu kehamilan, menunjukkan perubahan dari paru yang praviabel menjadi paru yang berpotensi viabel dengan kemampuannya untuk melakukan pertukaran gas. Perubahan utama yang terjadi pada fase ini adalah terbentuknya asinus, diferensiasi epitel dengan pembentukan sawar udara-darah (airblood barrier) dan dimulainya sintesis surfaktan di sel tipe II. Asinus muncul sebagai sebuah jonjot di bagian distal saluran udara yang berasal dari sebuah bronkiolus terminalis. Perkembangan asinus merupakan tahapan penting dalam kemampuan paru untuk melakukan pertukaran gas di masa berikutnya.

Lapisan mesenkim yang melapisi sekitar saluran udara awalnya miskin akan vaskularisasi menjadi lebih kaya akan pembuluh darah. Pada fase ini juga terbentuk daerah permukaan calon tempat terjadinya pertukaran gas. Diferensiasi epitel dicirikan oleh penipisan dari proksimal ke distal dengan perubahan sel dari epitel kuboid menjadi epitel tipis yang melapisi rongga saluran udara. Saluran udara ini semakin bertambah dalam hal panjang dan diameter dengan perubahan mesenkim yang menjadi semakin kaya akan vaskularisasi. Setelah usia kehamilan 20 minggu sel kuboid yang kaya akan glikogen ini akan mulai membentuk badan lamellar dalam sitoplasmanya menandakan dimulainya produksi surfaktan.


4. Fase sakuler

Fase ini merupakan fase perkembangan paru pada janin yang dianggap viabel yaitu pada usia kehamilan 26 hingga 36 minggu. Sakulus merupakan struktur terminal dari paru janin, yang terdiri dari tiga tahapan pembentukan, yaitu bronkiolus repiratorik, duktus alveolaris, baru kemudian terjadi septasi sekunder dari sakulus yang akan membentuk alveoli. Pada fase ini ruang udara meningkat dari 65.000 pada usia kehamilan 18 minggu menjadi hingga 4 juta pada usia kehamilan 32-36 minggu. Mikrosvaskularitas juga meningkat, yang berarti terjadi peningkatan area tempat pertukaran gas.


5. Fase alveolar

Alveolarisasi dimulai pada usia kehamilan 32 hingga 36 minggu dari sakulus terminalis dengan munculnya septa yang mengandung kapiler, serat elastin, dan kolagen. Sakulus dan alveoli yang baru terbentuk secara cepat mengalami septa septasi membentuk 100 juta aleveoli pada aterm dan sekitar 500 juta alveoli pada orang dewasa. Kecepatan pembentukan alveoli maksimal terjadi pada antara usia kehamilan 36 minggu hingga beberapa bulan setelah lahir dan selesai pada sekitar usia 2 tahun. Jika proses alveolarisasi terganggu kemungkinan terjadi efek buruk jangka pendek dan jangka panjang pada fungsi paru bayi baru lahir. Sejumlah tindakan intervensi klinis dan bahan kimia diketahui dapat mengganggu proses alveolarisasi. Hiperoksia, hipoksia dan ventilasi mekanis dapat mempengaruhi alveolarisasi. Glukokortikoid dapat menyebabkan terhentinya proses alveolarisasi. Glukokortikoid menyebabkan abnormalitas permanen pada alveoli dan pembuluh darah pada tikus percobaan. Glukokortikoid yang diberikan pada monyet percobaan pada fase sakuler mengurangi mesenkim dan membuat paru tampak lebih matur, namun pada saat mencapai aterm paru memiliki volume gas yang lebih rendah dan jumlah alveoli yang lebih sedikit. Sedangkan pada domba pemberian glukokortikoid dosis tunggal atau berulang menyebabkan penurunan jumlah alveoli dan peningkatan ukuran alveoli setelah terjadi persalinan preterm. Namun pada saat aterm jumlah alveoli ditemukan normal, menunjukkan bahwa pemulihan dari inhibisi perkembangan alveoli adalah dimungkinkan (Jobe, 2009).


6. Fisiologi Pernapasan Neonatus

Saat bayi dilahirkan dan sirkulasi fetoplasenta berhenti berfungsi, bayi tersebut mengalami perubahan fisiologik yang besar sekali dalam waktu yang sangat cepat. Dalam beberapa menit setelah lahir, sistem pernapasan harus mampu memberikan oksigen dan mengeliminasi karbondioksida. Kelangsungan hidup bayi tersebut tergantung pada kecepatan dan keteraturan pertukaran oksigen dan karbondioksida antara lingkungan barunya dan sirkulasi paru-paru yang terisi cairan harus diisi dengan udara, udara harus dipertukarkan dengan gerakan pernapasan yang tepat, dan mikrosirkulasi yang baik harus diciptakan di sekitar alveoli tersebut. Segera setelah lahir, pola pernapasan bergeser dari satu inspirasi episodik dangkal, yang khas pada pernapasan janin, menjadi pola inhalasi lebih dalam dan teratur. Sekarang jelas bahwa aerasi paru-paru neonatus bukan inflasi dari suatu struktur yang kolaps, melainkan pergantian cepat cairan bronkhial dan alveoli dengan Udara.
Percobaan pada domba, dan diperkirakan juga pada bayi manusia, cairan alveoli yang tersisa setelah kelahiran dibersihkan melalui sirkulasi paru dan pada tingkat yang lebih kecil, melalui sistem limfatik paru. Karena cairan digantikan dengan udara, terdapat pengurangan cukup besar kompresi vaskuler paru dan selanjut, menurunkan tahanan aliran darah. Dengan menurunnya aliran cairan darah arteri pulmonalis, duktus arteiosus normalnya menutup. Penutupan foramen ovale lebih variabel. Tekanan negatif yang tinggi pada rongga dada diperlukan untuk menghasilkan suplai udara pertama kali ke dalam alveoli yang terisi cairan. Normalnya, dari pernapasan pertama setelah lahir ini, secara progesif lebih banyak udara residual berkumpul di dalam paru-paru, dan setiap pernapasan berikutnya, diperlukan tekanan pembukaan paru-paru, yang lebih rendah. Pada bayi aterm normal, pada sekitar pernafasan kelima, perubahan tekanan-volume yang dicapai pada setiap respirasi sangat serupa dengan orang dewasa normal. Surfaktan menurunkan tegangan permukaan alveoli oleh karena itu mencegah terjadinya kolaps paru pada setiap ekspirasi. Tidak adanya surfaktan yang cukup menyebabkan timbulnya RDS dengan cepat (Alibasya, 2005).

Dari temuan eksperimental sintesis surfaktan distimulasi oleh berbagai macam hormon, growth factor, dan faktor transkripsi termasuk diantaranya glukokortikoid, hormon tiroid, thyrotropin-releasing hormone (TRH), prolaktin, cyclicadenosine monophosphate (cAMP), asam retinoat, epidermal growth factor, dan thyroid transcription factor. Diantara faktor-faktor tersebut glukokortikoid paling banyak diteliti. Pemberian glukokortikoid memberikan efek berupa perubahan morfologi yang menandakan terjadinya akselerasi terhadap maturasi paru meliputi alveoli yang membesar, septa interalveoler yang lebih tipis, peningkatan jumlah sel tipe 2, dan jumlah lamellar body di dalamnya. Sebagai tambahan, glukokortikoid juga meningkatkan biosintesis fosfolipid juga protein-protein surfaktan.


7.   Respiratory Distress Syndrome (RDS) pada bayi prematur

Sindrom gangguan napas ataupun sering disebut sindrom gawat napas (respiratory distress syndrome/RDS) adalah istilah yang digunakan untuk disfungsi pernapasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru (Whalley dan Wong, 1995). Gangguan ini biasanya juga dikenal dengan nama hyaline membrane disease (HMD) atau penyakit membran hialin, karena pada penyakit ini selalu ditemukan membran hialin yang melapisi alveoli. Sindrom gangguan pernapasan adalah kumpulan gejala yang terdiri dari dispnea atau hiperapnea dengan frekuensi pernapasan lebih dari 60 kali/menit, sianosis, rintihan pada ekspirasi dan kelainan otot-otot pernapasan pada inspirasi

Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya untuk berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan faktor kritis dalam terjadi RDS, ketidaksiapan paru menjalankan fungsinya tersebut disebabkan oleh kekurangan atau tidak adanya surfaktan. Surfaktan adalah substansi yang merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps pada akhir ekspirasi dan mampu menahan sisa udara fungsional /kapasitas residu funsional (Ilmu Kesehatan Anak, 1985). Surfaktan juga menyebabkan ekspansi yang merata dan menjaga ekspansi paru pada tekanan intraalveolar yang rendah. Kekurangan

atau ketidakmatangan fungsi surfaktan menimbulkan ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi dan kolaps alveoli saat ekspirasi. Bila surfaktan tidak ada, janin tidak dapat menjaga parunya tetap mengembang. Oleh karena itu, perlu usaha yang keras untuk mengembangkan parunya pada setiap hembusan napas (ekspirasi) sehingga untuk pernapasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar dengan disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Akibatnya, setiap kali bernapas menjadi sukar seperti saat pertama kali bernapas (saat kelahiran). Sebagai akibat, janin lebih banyak menghabiskan oksigen untuk menghasilkan energi ini daripada yang ia terima dan ini menyebabkan bayi kelelahan. Dengan meningkatnya kelelahan, bayi akan semakin sedikit membuka alveolinya. Ketidakmampuan mempertahankan pengembangan paru ini dapat menyebabkan atelaktasis. Tidak adanya stabilitas dan atelektasis akan meningkatkan pulmomary vascular resistance (PVR) yang nilainya menurun pada ekspansi paru normal. Akibatnya, terjadi hipoperfusi jaringan paru dan selanjutnya menurunkan aliran darah pulmonal. Di samping itu, peningkatan PVR juga menyebabkan pembalikan parsial sirkulasi darah janin dengan arah aliran dari kanan ke kiri melalui duktus arteriosus dan foramen ovale. Kolaps baru (atelektasis) akan menyebabkan gangguan ventilasi pulmonal yang menimbulkan hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah konstriksi vaskularisasi pulmonal yang menimbulkan penurunan oksigenasi jaringan dan selanjutnya menybabkan metabolisme anareobik.

Pengukuran produksi surfaktan paru merupakan metode paling efektif untuk mengevaluasi tingkat kematangan paru. Meskipun tes kematangan paru janin sudah ditemukan lebih dari dua puluh tahun yang lalu, namun tingkat sensitivitas dan spesifisitasnya masih rendah

Salah satu tes yang paling mudah dan cepat dilakukan untuk

menentukan tingkat kematangan paru adalah gastric shake test (GST).

Tes ini dapat digunakan untuk menilai adanya surfaktan dalam paru-

paru bayi saat lahir dan menentukan tingkat maturitas paru. Prinsip dari

tes  ini  adalah  melihat  kemampuan  surfaktan  pada  cairan  amnion

untuk  membentuk  gelembung  yang  stabil  ketika  dicampur  etanol

yang    diambil     dari    aspirat     lambung      melalui     nasogastrik        tube

(Noorishadkam, et al., 2014)

Prosedur dari GST ini adalah:

1. Tuangkan 0,5 ml aspirat lambung pada test tube
2.   Tambahkan 0,5 ml normal saline

3.   Kocok selama 15 detik

4.   Tambahkan 1 ml alcohol 95 %

5.   Kocok selama 15 detik dan lihat hasilnya selama 15 menit


  
Interpretasi GST:

Neonatus imatur: tidak ada gelembung, 60 % terjadi HMD.

+1 gelembung sangat kecil pada meniskus (lebih dari 1/3) 20% terjadi risiko HMD
+2 gelembung 1 deret, lebih dari 1/3 permukaan tabung

+3 gelembung satu deret pada seluruh permukaan dan beberapa gelembung pada dua deret terjadi HMD 1%.

+4 gelembung pada dua deret atau lebih Paru neonatus matur


Berbeda dengan hasil penelitian Noorishadkam,et al. (2014) yang menyatakan bahwa GST merupakan tes yang memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk memprediksi terjadinya RDS, penelitian dari Merpisheh, et al.,(2015) yang menyatakan bahwa GST bukan merupakan metode yang akurat untuk memprediksi kurangnya surfaktan paru pada bayi baru lahir.



Derajat beratnya distress nafas dapat dinilai dengan menggunakan skor Silverman-Anderson dan skor Downes. Skor Silverman-Anderson lebih sesuai digunakan untuk bayi prematur yang menderita hyaline membrane disease (HMD), sedangkan skor Downes merupakan sistem skoring yang lebih komprehensif dan dapat digunakan pada semua usia kehamilan. Penilaian dengan sistem skoring ini sebaiknya dilakukan tiap setengah jam untuk menilai progresivitasnya




Pemeriksaan

Skor




0
1
2





Frekuensi napas
< 60 /menit
60-80 /menit
> 80/menit




Retraksi
Tidak ada retraksi
Retraksi ringan
Retraksi berat




Sianosis
Tidak ada sianosis
Sianosis hilang
Sianosis menetap


dengan 02
walaupun diberi



O2
Air entry
Udara masuk
Penurunan ringan
Tidak ada udara


udara masuk
masuk




Merintih
Tidak merintih
Dapat didengar
Dapat didengar


dengan stetoskop
tanpa alat bantu




Skor > 6 : Ancaman gagal nafas

1 comment:

  1. Irrespective of receiving daily oral or future injectable depot therapies, these require health care visits for medication and monitoring of safety and response. If patients are treated early enough, before a lot of immune system damage has occurred, life expectancy is close to normal, as long as they remain on successful treatment. However, when patients stop therapy, virus rebounds to high levels in most patients, sometimes associated with severe illness because i have gone through this and even an increased risk of death. The aim of “cure”is ongoing but i still do believe my government made millions of ARV drugs instead of finding a cure. for ongoing therapy and monitoring. ARV alone cannot cure HIV as among the cells that are infected are very long-living CD4 memory cells and possibly other cells that act as long-term reservoirs. HIV can hide in these cells without being detected by the body’s immune system. Therefore even when ART completely blocks subsequent rounds of infection of cells, reservoirs that have been infected before therapy initiation persist and from these reservoirs HIV rebounds if therapy is stopped. “Cure” could either mean an eradication cure, which means to completely rid the body of reservoir virus or a functional HIV cure, where HIV may remain in reservoir cells but rebound to high levels is prevented after therapy interruption.Dr Itua Herbal Medicine makes me believes there is a hope for people suffering from,Parkinson's disease,Schizophrenia,Lung Cancer,Breast Cancer,psoriasis,Colo-Rectal Cancer,Blood Cancer,Prostate Cancer,siva.Fatal Familial Insomnia Factor V Leiden Mutation ,Epilepsy Dupuytren's disease,Desmoplastic small-round-cell tumor Diabetes ,Coeliac disease,Creutzfeldt–Jakob disease,Cerebral Amyloid Angiopathy, Ataxia,Arthritis,Amyotrophic Lateral Scoliosis,Fibromyalgia,Fluoroquinolone Toxicity
    Syndrome Fibrodysplasia Ossificans ProgresSclerosis,Alzheimer's disease,Adrenocortical carcinoma.Asthma,Allergic diseases.Hiv_ Aids,Herpe ,Copd,Glaucoma., Cataracts,Macular degeneration,Cardiovascular disease,Lung disease.Enlarged prostate,Osteoporosis.Alzheimer's disease,
    Dementia.(measles, tetanus, whooping cough, tuberculosis, polio and diphtheria),Chronic Diarrhea,
    Hpv,All Cancer Types,Diabetes,Hepatitis,I read about him online how he cure Tasha and Tara so i contacted him on drituaherbalcenter@gmail.com / info@drituaherbalcenter.com. even talked on whatsapps +2348149277967 believe me it was easy i drank his herbal medicine for two weeks and i was cured just like that isn't Dr Itua a wonder man? Yes he is! I thank him so much so i will advise if you are suffering from one of those diseases Pls do contact him he's a nice man.

    ReplyDelete