Magnesium adalah obat pilihan untuk pencegahan eklamsia,
karena dikaitkan dengan penurunan 59% risiko eklampsia, penurunan abruption
sebesar 36%, dan secara klinis penurunan 46% kematian ibu. Pemberian intravena
paling banyak digunakan 1 gram per jam dan biasanya diberikan setidaknya dalam
persalinan aktif selama 12 sampai 24 jam postpartum (Berghella, 2012).
Pada dasarnya ada dua rejimen utama yang tersedia
untuk pemberian MgSO4 yaitu regimen Pritchard dosis bolus loading 4 g MgSO4 diberikan
perlahan intravena selama 5-10 menit dan diikuti oleh 10 g diberikan secara
intramuskular (5 g di masing-masing bokong). Selanjutnya, 5 g diberikan secara
intramuskular setiap 4 jam. Sedangkan regimen Zuspan, dosis loading intravena 4
g perlahan selama 5-10 menit diikuti dengan dosis perawatan 1-2 g setiap jamnya.
Perlu dicatat bahwa untuk 50% MgSO4, 1 ml larutan mengandung 0,5 g MgSO4 sedangkan
untuk larutan 20%, 1 ml berisi 0,2 g MgSO4. Pemantauan penting harus dilakukan,
pastikan dosis yang tepat diberikan dan apapun rejimen yang dipilih, obat harus
diberikan sampai 24 jam setelah melahirkan (Tukur, 2009).
Cara kerja magnesium sulfat belum dapat dimengerti
sepenuhnya. Salah satu mekanisme kerjanya adalah menyebabkan vasodilatasi
melalui relaksasi dari otot polos, termasuk pembuluh darah perifer dan uterus,
sehingga selain sebagai antikonvulsan, magnesium sulfat juga berguna sebagai antihipertensi
dan tokolitik. Magnesium sulfat juga berperan dalam menghambat reseptor N-metil-D-aspartat
(NMDA) di otak, yang apabila teraktivasi akibat asfiksia, dapat menyebabkan masuknya
kalsium ke dalam neuron, yang mengakibatkan kerusakan sel dan dapat terjadi
kejang (POGI, 2016).
Efek samping, khususnya flushing,
terjadi pada 24% dari wanita dengan magnesium, dibandingkan dengan 5% kontrol.
Hampir semua data tentang efek samping dan keamanan berasal dari penelitian menggunakan
rejimen intramuskular (IM) atau rute intravena (IV) dengan 1 g / jam untuk
penggunaan sekitar 24 jam. Penelitian tersebut telalu kecil untuk kesimpulan
yang dapat diandalkan tentang perbandingan efek. Obat antidotum yang diberikan adalah 1 g 10% kalsium glukonat intravena
secara perlahan (Duley, et al.,
2010).
Komplikasi gangguan kehamilan
terjadi setiap 5-10% kehamilan. Gangguan
ini antara lain adalah gestasional hipertensi, preeklamsia, hipertensi kronik,
dan preeklamsia yang bertumpang tindih dengan hipertensi kronik. Gangguan
hipertensi pada kehamilan berhubungan
dengan komplikasi maternal dan janin. Estimasi saat ini eklamsia menjadi
penyebab 50.000 kematian ibu per tahun di seluruh dunia. Pemberian obat
anti-hipertensi masih menjadi perdebatan mengenai efeknya pada ibu hamil
terutama yang disertai dengan preeklamsia ringan. Pemberian magnesium sulfat
menjadi salah satu alternatif dan ternyata terbukti dalam mencegah eklamsia
berulang.
Imminent eclampsia dijelaskan merupakan suatu kondisi ketika tekanan darah diastolik ≥110 mmHg pada dua kali pengukuran dan proteinuria yang
signifikan (1gr dalam 24 jam) lalu disertai dengan nyeri kepala hebat, gangguan
penglihatan, nyeri regio epigastrik, clonus’s
signs, papilloedema, gangguan pada hepar (SGPT >50 iu/L). Eklamsia
dikenali ketika terjadi konvulsi umum dan/atau koma pada kasus preeklamsia
tanpa riwayat gangguan neurologis. Manifestasi eklamsia dapat muncul kapanpun
sejak trimester kedua hingga masa nifas. Terminasi kehamilan masih menjadi
satu-satunya terapi kuratif. Saat ini, eklamsia dipercaya sebagai salah satu
hasil akhir dari preeklamsia berat.
Insidensi tertinggi
eklamsia terjadi pada wanita usia muda di bawah 20 tahun, namun data juga
menunjukkan adanya peningkatan insidensi pada wanita usia di atas 35 tahun.
Kejang eklamsia terjadi pada 0.5% kasus preeklamsia dan 2% pada kasus preeklamsia
berat. Negara berkembang memiliki insidensi 6 hingga 100 kasus per kelahiran.
Sayangnya, setengah kasus eklamsia terjadi pada saat sebelum persalinan dan
lebih dari seperlimanya terjadi pada usia kehamilan 31 minggu atau kurang.
Hanya sepertiga lebih kasus yang terjadi pada saat persalinan dan pada saat
perawatan intrapartum (48 jam). Post partum eklamsia terjadi pada saat 48 jam
setelah melahirkan hingga tidak lebih dari 4 minggu post partum.
Faktor resiko eklamsia
adalah diabetes mellitus semenjak sebelum kehamilan, penyakit vaskular atau
jaringan, nefropati, sindrom antibodi antifosfolipid, obesitas, riwayat
keluarga dengan preeklamsia, ras Afrika-Amerika dan status sosio ekonomi.
Eklamsia merupakan hasil dari vasospasma dan iskemik.
Magnesium sulfat
menjadi pilihan terapi eklamsia karena memiliki efek vasodilator serebral yang
akan mengurangi kejadian iskemik dengan cara mengurangi vasospasme serebral.
Magnesium sulfat sekarang digunakan pada beberapa pasien preeklamsia dengan
tujuan profilaksis terhadap kejang dan terbukti dapat mengurangi kejadian
kejang pada eklamsia dan preeklamsia berat. Sampai saat ini penggunaan
magnesium sulfat masih memiliki kekurangan bukti mengenai jumlah dosis yang
tidak membahayakan pasien. Pemantauan sangat dibutuhkan berdasarkan
administrasi dan memantau jika pasien memiliki terapi tambahan.
Tujuan studi ini adalah
untuk melihat peran magnesium sulfat dalam penanganan hipertensi pada kehamilan
dan melihat seberapa bergunanya tatalaksana ini untuk mengurangi morbiditas dan
mortalitas pada kelahiran.
A. Metodologi
Beberapa
seri studi kasus dilakukan di unit ginekologi dan obstetri Rumah Sakit Nasional
Liaquat Karachi Pakistan dimulai pada 17 Januari 2007 hingga 17 Januari 2008.
Kriteria inklusi dan eksklusi yang digunakan adalah:
·
Kriteria
inklusi
o
Pasien
dengan imminent eclampsia berdasarkan
tekanan darah sistolik ≥170
mmHg atau diastolik ≥110
mmHg pada dua kali pengukuran
o
Pasien
dengan proteinuria yang signifikan (1 gram protein dalam 24 jam)
o
Pasien
dengan gejala nyeri kepala berat, gangguan penglihatan, nyeri regio epigastrik,
papilloedema, pembesaran hati, trombositopenia (<100 x 109 / L),
SGPT meningkat hingga > 50 iu/L.
·
Kriteria
eksklusi
o
Gangguan
ginjal kronis
o
Gangguan
jantung dan pernapasan
o
Sensitif
terhadap Magnesium Sulfat
Magnesium
sulfat digunakan untuk mencegah kejadian kejang pada pasien dengan imminent eclampsia. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui efektifitas dari Magnesium Sulfat dalam mencegah
terjadinya kejang pada imminent eclampsia.
Keamanan penelitian ini dilakukan dengan memperhatikan adanya depresi nafas,
oliguri, dan hilangnya refleks patella. Hal lain yang diperhatikan adalah outcome janin hidup atau mati, skor
apgar pada menit pertama dan kelima, berat bayi lahir, kondisi ibu secara umum,
kesadaran, tekanan darah, nadi, frekuensi nafas, dan kejadian kejang berulang.
Dosis
Magnesium Sulfat yang digunakan adalah dosis Pritchard dengan 4 gram dilarutkan
dalam 12 ml aqua melalui infus selama 10-15 menit. Dosis ini diikuti dengan
dosis rumatan sebesar 1-2 gr/jam dengan tetesan 60/menit melalui infus dan
diteruskan hingga 24 jam paska persalinan.
Informed consent dilakukan pada semua pasien dalam
penelitian ini. Anamnesis dan pemeriksaan fisik secara detail juga dilakukan
pada semua pasien. Pemeriksaan lab yang dilakukan adalah darah lengkap, profil
koagulasi, asam urat serum, SGPT, dan profil protein urin dalam 24 jam.
Selama
tatalaksana dilakukan, pasien dan janin dimonitor dengan hati-hati. Tanda-tanda
vital ibu dicek tiap jam beserta output urin (>50 ml/jam), dan refleks
patella. Monitor pada janin dilakukan dengan electronic fetal heart monitor selama persalinan dan pengukuran
skor apgar di menit pertama dan kelima setelah bayi lahir.
Analisis
data dilakukan menggunakan SPSS versi 10. Statistik deskriptif seperti mean + frekuensi SD dan persentasi juga
dihitung.
B. Hasil
Didapatkan
50 partisipan yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak ada satupun yang
meninggalkan rumah sakit selama pengobatan dan diikuti setiap hari sampai
persalinan dan periode paska persalinan. Usia rata-rata pasien adalah 29,28
tahun dan kebanyakan pasien adalah primigravida. Rata-rata tekanan darah
sistolik sebesar 159,86 mmHg dan diastolik sebesar 109,90 mmHg. Didapatkan
frekuensi nafas rata-rata adalah 20 x/menit.
Magnesium
sulfat diberikan untuk mencegah kejang pada seluruh partisipan. Didapatkan satu
pasien yang mengalami kejang meskipun telah diberikan magnesium sulfat (2% pada
kasus). Dosis yang digunakan adalah dosis dengan toksisitas dan komplikasi
minimal. Tidak ditemukan adanya bukti depresi nafas, refleks patella normal dan
stabil selama penanganan dilakukan. Hematuria dan Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) tidak ditemukan pada
seluruh partisipan. Namun terdapat satu pasien yang mengalami oliguri (2% pada
kasus).
Monitor
terhadap detak jantung janin dilakukan selama proses persalinan dan outcome janin diukur dengan skor apgar
pada menit pertama dan kelima setelah kelahiran. 33-39 pasien dari total 50
partisipan memiliki skor apgar >5. Outcome
janin juga dinilai dari kondisi bayi setelah lahir, berat bayi lahir, dan
kondisi keperluan perawatan di NICU (Neonatal
Intensive Care Unit).
Efek
neonatal yang merugikan didapatkan sianosis (46%), respiratory distress syndrome (30%), jaundice (36%), hipotermia (26%), hipoglikemia (8%), hipokalemia
(2%), gejala kejang konvulsi (14%). Keseluruhan bayi dari partisipan
dipulangkan dalam kepuasan (74%). Terdapat kematian neonatal (22%), satu
kematian intra uteri (2%), dan satu kematian intra partu (2%).
Hasil
penelitian ini mendukung hipotesis penulis bahwa terdapat efek dari pemberian
magnesium sulfat dalam mencegah kejang pada pasien dengan imminent eclampsia.
C. Diskusi
Tatalaksana
pada preeklamsia/eklamsia adalah melahirkan janin. Selama janin belum
dilahirkan, ibu hamil memiliki peningkatan resiko terjadinya komplikasi seperti
kejang, abrupsi, trombositopenia, perdarahan serebral, edema pulmo, perdarahan
hepar, dan gagal ginjal. Persalinan tidak selalu memberikan hasil yang baik
pada janin, terutama jika dilahirkan preterm. Janin juga memiliki peningkatan
resiko IUGR dan stillbirth pada preeklamsia.
Manajemen konservatif dapat dilakukan pada beberapa kasus untuk mendapatkan
janin yang matur.
Gestasional
hipertensi didefinisikan ketika tekanan darah sistolik >140 mmHg atau
diastolik >90 mmHg pada wanita yang memiliki tekanan darah normal sebelum
usia kehamilan 20 minggu. Hipertensi berat sebaiknya mendapatkan terapi untuk
menghindari komplikasi vaskular maternal. Wanita dewasa dengan tekanan darah
diastolik >105-110 mmHg atau sistolik >160-180 mmHg sebaiknya diberikan
terapi. Ambang batas pada wanita remaja lebih rendah karena batas dasar tekanan
diastolik <75 mmHg, pada beberapa pasien terapi dapat diberikan ketika tekanan
diastolik >100 mmHg.
Preeklamsia
dengan hipertensi berat diberikan terapi awal menggunakan terapi antihipertensi
secara oral. Penggunaan obat antihipertensi tergantung pada setiap klinisi
berdasarkan keuntungan maternal dan fetus serta komplikasi (teratogenesis, fetotoxicity, dan neonatal
toxicity) dari setiap obat. Terdapat bukti yang kurang kuat bahwa magnesium
sulfat lebih superior dibandingkan obat-obat yang lain untuk mengurangi
kejadian kejang berulang. Namun terdapat rekomendasi yang kuat bahwa magnesium
sulfat dapat dipertimbangkan untuk wanita dengan preeklamsia yang memiliki
resiko serius terjadinya eklamsia.
Penelitian
yang dilakukan di Perancis mengevaluasi indikasi, cara administrasi, dan
keamanan magnesium sulfat pada preeklamsia berat. Penelitian ini dilakukan pada
57 pasien dengan preeklamsia yang diberikan magnesium sulfat (bolus intravena
4.5 gr dalam 20 menit dan diikuti dosis rumatan sebesar 1.5 gr/jam) dengan atau
tanpa pemberian obat antihipertensi. Indikasi utama pemberian magnesium sulfat
adalah hiperrefleksia (75%). Didapatkan 47% kasus dengan usia kehamilan kurang
dari 33 minggu tidak adanya kejadian eklamsia. Didapatkan satu partisipan
dengan overdosis yang membaik ketika dosis rumatan dihentikan. Satu pasien pula
memiliki efek samping minor akibat pemberian magnesium sulfat. Penelitian ini
menunjukkan protokol ketat untuk penggunaan magnesium sulfat diperlukan
(Girard, et al., 2005). Penelitian
yang dilakukan Tabassum dan Naqvi menggunakan dosis yang menunjukkan efek
toksik dan komplikasi minimal. Tidak ditemukan adanya depresi nafas, refleks
patella tetap baik, dan tidak ada satupun pasien yang mengalami hematuria atau
DIC. Namun terdapat satu pasien mengalami oliguria (2%). Penelitian yang
dilakukan Tabassum dan Naqvi juga memasukkan outcome neonatal.
Sebuah
penelitian dilakukan di Nepal untuk melihat insidensi dan dampak perubahan
dalam strategi intervensi untuk manajemen eklamsia di rumah sakit maternitas
pada hasil maternal dan perinatal. Kasus analisis dilakukan pada dua periode
yang berbeda, periode A (April 1994 sampai Oktober 1996) dan periode B (April
2000 sampai April 2001). Total kasus eklamsia (periode A dengan 46 kasus dan
periode B dengan 47 kasus) yang mendapatkan intervensi dibandingkan meskipun
dalam dua periode yang berbeda. Diazepam digunakan sebagai intervensi pada
periode A sedangkan magnesium sulfat digunakan sebagai intervensi pada periode
B. Hasil menunjukkan adanya kematian maternal pada periode A sedangkan tidak
ada kematian maternal pada periode B. Perbaikan dari kejang berulang didapatkan
periode A berbanding periode B sebesar 73.91% : 19.13%. perbandingan kematian
perinatal pada periode A dan B sebesar 33% : 20%. Secara umum, pemberian
intervensi eklamsia menggunakan magnesium sulfat menunjukkan hasil yang lebih
positif dibandingkan dengan pemberian diazepam pada outcome maternal (Chaudhary, 2005) . Tabassum dan Naqvi menemukan 22% kematian perinatal pada penelitian yang
mereka lakukan dan hanya menggunakan magnesium sulfat sebagai intervensi.
Penelitian
lain yang dilakukan di India mempelajari efektifitas dosis rendah magnesium
sulfat sebagai kontrol untuk kejang eklamsia dan profilaksis kejang pada imminent eclampsia. 570 kasus eklamsia
dan 480 kasus imminent eclampsia
digunakan sebagai kasus penelitian dan diberikan magnesium sulfat dosis rendah.
Kejang eklamsia teratasi pada 91.93% kasus dan kejadian kejang berulang terjadi
pada 7.89% kasus. Magnesium dosis rendah efektif sebagai profilaksis eklamsia
pada imminent eclampsia pada 98.75%
kasus (Sardesai, et al., 2003). Penelitian
yang dilakukan Tabassum dan Naqvi menunjukkan bahwa magnesium sulfate dapat
menjadi profilaksis eklamsia pada 98% kasus imminent
eclampsia. Kedua bukti ini menunjukkan bahwa magnesium dosis rendah adalah
terapi yang efektif dalam mengatasi kejang eklamsia dan sebagai profilaksis
kejang pada imminent eclampsia.
Di
Amerika dilakukan penelitian untuk meneliti peran magnesium sulfat sebagai
pencegah progesi penyakit pada wanita dengan preeklamsia ringan. Studi secara
acak dilakukan pada 222 kasus preeklamsia ringan dan dibagi menjadi dua grup
(109 kasus dengan pemberian magnesium sulfat intravena dan 113 kasus dengan
pemberian plasebo). Didapatkan 12.8% dari grup magnesium dan 16.8% dari grup
plasebo mengalami perkembangan penyakit menjadi preeklamsia berat. Tidak ada
satupun dari kedua grup yang mengalami eklamsia atau trombositopenia.
Perbandingan grup magnesium dan grup plasebo dalam beberapa hal adalah sebagai
berikut; persalinan seksio sesaria (30% vs 25%), korioamnionitis (3% vs 2.7%),
endometritis (5.3% vs 4.3%), dan perdarahan post partum sebesar 1% vs 0.9%.
Skor apgar pada kedua grup menunjukkan hasil yang tidak berbeda jauh.
Penelitian ini menunjukkan bahwa magnesium sulfat tidak memiliki efek besar
pada progesi penyakit preeklamsia ringan (Livingston, et al., 2003). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Tabassum
dan Naqvi, magnesium sulfat menunjukkan efektifitas untuk mencegah kejang pada imminent eclampsia sebesar 98%.
Penelitian
lainnya yang dilakukan di Bangladesh, peneliti menilai peran injeksi magnesium
sulfat pada eklamsia dan preeklamsia berat pada tingkat komunitas di daerah
pedesaan sebelum dikirim ke rumah sakit. Pada 265 kasus dibagi menjadi dua grup
dengan pemberian injeksi dan grup lainnya tidak (133 vs 132). Jumlah rata-rata
kejadian kejang sebelum intervensi pada grup intervensi dan non intervensi
adalah sebesar 4.7 ± 2.64 & 6.86 ± 2.97. Kejadian kejang berulang yang
terjadi pada grup non intervensi lebih banyak dibandingkan dengan grup
intervensi dengan nilai p <0.001. Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk
mendapatkan kesadaran penuh setelah kejang terjadi adalah 12.0 ± 9.6 dan 17.4 ±
7.4 jam pada grup intervensi dan non intervensi. Injeksi magnesium sulfat 10 gr loading dose diberikan pada 94% kasus
pada grup intervensi dan 74% pada grup non intervensi. Didapatkan kematian
maternal sebesar 2.3% pada grup intervensi dan 10.4% pada grup non intervensi
dengan nilai p<0.005. Kejadian lahir mati yang didapatkan sebesar 13.7% pada grup intervensi dan 20% pada grup
non intervensi dengan perbedaan statistik nilai p<0.001. Hasil yang
memuaskan didapatkan melalui pemberian injeksi magnesium sulfat di tingkat
komunitas pada daerah pedesaan pada kasus eklamsia dan preeklamsia berat (Shamsuddin,
et al., 2005).
D. Kesimpulan
Tabassum
dan Naqvi menyimpulkan berdasarkan penelitian yang mereka lakukan bahwa
magnesium sulfat efektif dalam mengurangi tekanan darah dan sebagai pencegah
kejang pada pasien dengan imminent
eclampsia tanpa efek samping yang signifikan. Didapatkan efek samping
minimal pula pada janin. Hasil penelitian mereka dapat dibandingkan dengan
penelitian-penelitian internasional lainnya. Untuk penelitian selanjutnya,
Tabassum dan Naqvi merekomendasikan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut
mengenai efek samping magnesium sulfate pada preeklamsia berat.
Penggunaan magnesium sulfat merupakan
terapi pilihan pada beberapa panduan tatalaksana, baik internasional maupun
Indonesia. Efek samping yang minimal menjadi salah satu pertimbangan pemilihan
magnesium sulfate dengan tetap memperhatikan kondisi frekuensi nafas, refleks
patella, dan produksi urin. Hasil baik yang diberikan magnesium sulfat dalam
mengatasi kejang eklamsia dan mencegah eklamsia pada preeklamsia berat
menunjukkan keunggulan regimen ini.
Penelitian
yang dilakukan di Indonesia mengenai pemberian magnesium sulfate masih minim
dilakukan. Efek pemberian magnesium sulfat bersama pemberian obat
antihipertensi juga masih sulit dicari buktinya. Diharapkan
penelitian-penelitian selanjutnya dapat menunjukkan efek kombinasi magnesium sulfat
dan obat antihipertensi terutama dengan kondisi di Indonesia.
0 comments:
Post a Comment