A. Definisi
Kehamilan ektopik adalah
kehamilan dimana sel telur yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh di luar
endometrium kavum uterus. Kehamilan ektopik dapat terjadi di luar rahim
misalnya dalam tuba, ovarium atau rongga perut, tetapi dapat juga terjadi di
dalam rahim di tempat yang luar biasa misalnya dalam serviks, pars
interstitialis atau dalam tanduk rudimeter rahim.
Kehamilan ektopik merupakan
kehamilan yang berbahaya karena tempat implantasinya tidak memberikan
kesempatan untuk tumbuh kembang mencapai aterm. Kehamilan ektopik terganggu
(KET) adalah keadaan dimana timbul gangguan pada kehamilan tersebut sehingga
terjadi abortus maupun ruptur yang menyebabkan penurunan keadaan umum pasien.
B. Klasifikasi
Klasifikasi
kehamilan ektopik berdasarkan tempat terjadinya implantasi dari kehamilan
ektopik, dapat dibedakan menurut:
· Kehamilan
tuba adalah kehamilan ektopik pada setiap bagian dari tuba fallopi. Sebagian
besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba (95%). Konseptus dapat berimplantasi
pada ampulla (55%), isthmus (25%), fimbrial (17%), atau pun pada interstisial
(2%) dari tuba. Tuba fallopi mempunyai kemampuan untuk berkembang yang
terbatas, sehingga sebagian besar akan pecah (ruptura) pada umur kehamilan
35-40 hari.
· Kehamilan
ovarial merupakan bentuk yang jarang (0,5%) dari seluruh kehamilan ektopik
dimana sel telur yang dibuahi bernidasi di ovarium.Meskipun daya akomodasi
ovarium terhadap kehamilan lebih besar daripada daya akomodasi tuba, kehamilan
ovarium umumnya mengalami ruptur pada tahap awal.
· Kehamilan
servikal adalah bentuk dari kehamilan ektopik yang jarang sekali terjadi.
Nidasi terjadi dalam selaput lendir serviks. Dengan tumbuhnya telur, serviks
mengembang. Kehamilan serviks jarang melewati usia gestasi 20 minggu sehingga
umumnya hasil konsepsi masih kecil dan dievakuasi dengan kuretase.
· Kehamilan
Abdominal
Kehamilan ini terjadi
satu dalam 15.000 kehamilan, atau kurang dari 0,1% dari seluruh kehamilan
ektopik. Kehamilan Abdominal ada 2 macam :
a.
Primer, dimana telur
dari awal mengadakan implantasi dalam rongga perut.
b.
Sekunder, yaitu
pembentukan zigot terjadi ditempat yang lain misalnya di dalam saluran telur
atau ovarium yang selanjutnya berpindah ke dalam ronggaabdomen oleh karena
terlepas dari tempat asalnya. Hampir semua kasus kehamilan abdominal merupakan
kehamilan ektopik sekunder akibat rupture atau aborsi kehamilan tuba atau
ovarium ke dalam rongga abdomen. Walaupun ada kalanya kehamilan abdominal
mencapai umur cukup bulan, hal ini jarang terjadi, yang lazim ialah bahwa janin
mati sebelum tercapai maturitas (bulan ke 5 atau ke 6) karena pengambilan
makanan kurang sempurna.
·
Kehamilan Heterotopik
adalah kehamilan ektopik yang dapat terjadi bersama dengan kehamilan
intrauterin. Kehamilan heterotipik ini sangat langka, terjadi satu dalam
17.000-30.000 kehamilan ektopik.
·
Kehamilan heterotopik
dapat di bedakan atas :
a. Kehamilan
kombinasi (Combined Ectopic Pregnancy)
yaitu kehamilan yangdapat berlangsung dalam waktu yang sama dengan kehamilan
intrautrin normal.
b. Kehamilan
ektopik rangkap (Compound Ectopic
Pregnancy) yaitu terjadinya kehamilan intrauterin setelah lebih dahulu
terjadi kehmilan ektopik yang telah mati atau pun ruptur dan kehamilan
intrauterin yang terjadi kemudian berkembang seperti biasa.
· Kehamilan
interstisial yaitu implantasi telur terjadi dalam pars interstitialis tuba.
Kehamilan ini juga disebut sebagai kehamilan kornual (kahamilan intrauteri,
tetapi implantasi plasentanya di daerah kornu, yang kaya akan pembuluh darah).
Karena lapisan myometrium di sini lebih tebal maka ruptur terjadi lebih lambat
kira-kira pada bulan ke 3 atau ke 4.18 Kehamilan interstisial
merupakan penyebab kematian utama dari kehamilan ektopik yang pecah.
· Kehamilan
intraligamenter
Kehamilan
intraligamenter berasal dari kehamilan ektopik dalam tuba yang pecah. Konseptus
yang terjatuh ke dalam ruangan ekstra peritoneal ini apabila lapisan korionnya
melekat dengan baik dan memperoleh vaskularisasi di situ fetusnya dapat hidup
dan berkembang dan tumbuh membesar. Dengan demikian proses kehamilan ini serupa
dengan kehamilan abdominal sekunder karena keduanya berasal dari kehamilan
ektopik dalam tuba yang pecah.
· Kehamilan
tubouteina merupakan kehamilan yang semula mengadakan implantasi pada tuba pars
interstitialis, kemudian mengadakan ekstensi secara perlahan-lahan ke dalam
kavum uteri.
· Kehamilan
tuboabdominal berasal dari tuba, dimana zigot yang semula megadakan implantasi
di sekitar bagian fimbriae tuba, secara beangsur mengadakan ekstensi ke kavum
peritoneal.
· Kehamilan
tuboovarial digunakan bila kantung janin sebagian melekat pada tuba dan
sebagian pada jaringan ovarium (Saifuddin, et al., 2010).
C. Patofisiologi
Hal
yang paling berpengaruh terhadap terjadinya KET adalah kerusakan tuba, akibat
inflamasi, infeksi atau bekas pembedahan. Beberapa hal dibawah ini ada
hubungannya dengan terjadinya kehamilan ektopik:
-
Pengaruh faktor mekanik
Faktor-faktor mekanis yang menyebabkan kehamilan
ektopik antara lain: riwayat operasi tuba, salpingitis, perlekatan tuba akibat
operasi non-ginekologis seperti apendektomi, pajanan terhadap
diethylstilbestrol, salpingitis isthmica nodosum (penonjolan-penonjolan kecil
ke dalam lumen tuba yang menyerupai divertikula), dan alat kontrasepsi dalam
rahim (AKDR). Hal-hal tersebut secara umum menyebabkan perlengketan intra-
maupun ekstraluminal pada tuba, sehingga menghambat perjalanan zigot menuju
kavum uteri. Faktor mekanik lain adalahpernah menderita kehamilan ektopik,
pernah mengalami operasi pada saluran telur seperti rekanalisasi atau tubektomi
parsial, induksi abortus berulang, tumor yang mengganggu keutuhan saluran
telur.
-
Pengaruh faktor fungsional
Faktor fungsional yaitu perubahan motilitas tuba yang
berhubungan dengan faktor hormonal. Dalam hal ini gerakan peristalsis tuba
menjadi lamban, sehingga implantasi zigot terjadi sebelum zigot mencapai kavum
uteri. Gangguan motilitas tuba dapat disebabkan oleh perobahan keseimbangan
kadar estrogen dan progesteron serum. Dalam hal ini terjadi perubahan jumlah
dan afinitas reseptoradrenergik yang terdapat dalam utrus dan otot polos dari
saluran telur. Ini berlaku untuk kehamilan ektopik yang terjadi pada akseptor
kontrasepsi oral yang mengandung hanya progestagen saja, setelah memakai
estrogen dosis tinggi pascaovulasi untuk mencegah kehamilan.
Merokok pada waktu terjadi konsepsi dilaporkan
meningkatkan insiden kehamilan ektopik yang diperkirakan sebagai akibat
perubahan jumlah dan afinitas reseptor adrenergik dalam tuba.
-
Kegagalan kontrasepsi
Sebenarnya insiden sesungguhnya kehamilan ektopik
berkurang karena kontrasepsi sendiri mengurangi insidensi kehamilan. Akan
tetapi dikalangan para akseptor bisa terjadi kenaikan insiden kehamilan ektopik
apabila terjadi kegagalan pada teknik sterilisasi. Alat kontrasepsi dalam rahim
selama ini dianggap sebagai penyebab kehamilan ektopik. Namun ternyata hanya
AKDR yang mengandung progesteron yang meningkatkan frekuensi kehamilan ektopik.
AKDR tanpa progesteron tidak meningkatkan risiko kehamilan ektopik, tetapi bila
terjadi kehamilan pada wanita yang menggunakan AKDR, besar kemungkinan
kehamilan tersebut adalah kehamilan ektopik.
-
Peningkatan afinitas mukosa tuba
Dalam hal ini terdapat elemen endometrium ektopik yang
berdaya meningkatkan implantasi pada tuba.
-
Pengaruh proses bayi tabung
Beberapa kejadian kehamilan ektopik dilaporkan terjadi
pada proses kehamilan yang terjadi dengan bantuan teknik-teknik reproduksi (assisted
reproduction). Kehamilan tuba dilaporkan terjadi pada GIFT (gamete
intrafallopian transfer), IVF (in vitro fertilization), ovum
transfer, dan induksi ovulasi. Induksi ovulasi dengan human pituitary
hormone dan hCG dapat menyebabkan kehamilan ektopik bila pada waktu ovulasi
terjadi peningkatan pengeluaran estrogen urin melebihi 200 mg sehari.
D. Manifestasi Klinis
Gambaran klinik kehamilan ektopik
bervariasi, tergantung bagian tuba yang ruptur. Gejala awal dan pemeriksaan
yang memungkinkan untuk dapat mengidentifikasi kehamilan tuba untuk rupture
pada beberapa kasus. Umumnya perempuan tidak menyadari bahwa dirinya hamil atau
berpikir bahwa kehamilannya normal, atau mengalami abortus. Tanda dan gejala
yang dapat terjadi antara lain:
o
Nyeri
abdomen (97%)
o
Perdarahan
pervaginam (79%)
o
Nyeri
tekan abdomen (91%)
o
Nyeri di
daerah adneksa (54%)
o
Riwayat
infertile (15%)
Gambaran klasik kehamilan ektopik
adalah adanya riwayat amenorea, nyeri abdomen bagian bawah, dan perdarahan dari
uterus. Nyeri abdomen umunya mendahului keluhan perdarahan pervaginam, biasanya
dimulai dari salah satu sisi abdomen bagian bawah, dan dengan cepat menyebar ke
seluruh abdomen yang disebabkan oleh terkumpulnya darah di rongga abdomen.
Adanya darah di rongga perut menyebabkan iritasi subdiafragma yang ditandai
dengan nyeri pada bahu dan kadang kadang terjadi sinkop.
Periode amenorea umumnya 6-8
minggu, tetapi dapat lebih lama jika implantasi terjadi di pars interstisial
atau kehamilan abdominal. Pemeriksaan klinik ditandai dengan hipotensi bahkan
sampai syok, takikardi dan gejala peritoneum seperti distensi abdomen dan
rebound tenderness.
Pada pemeriksaan bimanual ditemukan
nyeri saat porsio digerakkan, forniks posterior vagina menonjol karena darah
terkumpul di kavum douglas, atau teraba massa di salah satu sisi uterus.
Setelah fase amenorea yang singkat,
pasien mengeluh adanya perdarahan pervaginam dan nyeri perut yang berulang.
Sebaiknya, setiap perempuan yang mengalami amenorea disertai nyeri perut bagian
bawah dicurigai adanya kemungkinan kehamilan ektopik. Pada keadaan subakut
teraba massa di salah satu forniks vagina.
Diagnosis kehamilan ektopik subakut sulit ditegakkan karena
sulit dibedakan dengan abortus imminens atau abortus inkomplit. Selain itu
dapat pula dikacaukan dengan adanya salpingitis akut atau apendisitis dengan
peritonitis pelvic. Demikian pula dengan kista ovarium yang mengalami
perdarahan atau pecah. Selain itu akan
aada penurunan kadar hemoglobin karena perdarahan di rongga abdomen.
Perdarahan biasanya sedikit, berwarna coklat tua, dan dapat
intermiten atau terus menerus. Pada pemeriksaan dalam ditemukan bahwa usaha
menggerakkan serviks uteri menimbulkan rasa nyeri dan kavum doglas teraba
menonjol, berkisar dari diameter 5 sampai 15 cm, dengan konsistensi lunak dan
elastis (Sivalingam, et al., 2011).
E. Faktor resiko
Terdapat sejumlah faktor
predisposisi yang dapat menyebabkan kerusakan tuba dan disfungsi tuba.
-
Riwayat operasi tuba sebelumnya, apakah untuk memperbaiki patensi tuba
ataupun untuk sterilisasi, meningkatkan risiko terjadinya penyempitan lumen.
-
Risiko untuk mengalami kehamilan ektopik kembali setelah kehamilan ektopik
sebelumnya sebesar 7-15%.
-
Riwayat salpingitis-radang panggul merupakan risiko yang umum ditemukan.
-
Perlengketan perituba sebagai akibat dari pascaabortus ataupun infeksi
nifas, apendisitis atau endometriosis dapat menyebabkan kinking pada tuba dan
menyempitkan lumen sehingga meningkatkan risiko kehamilan tuba.
-
Riwayat seksio sesaria dihubungkan dengan risiko kehamilan ektopik meskipun
rendah.
-
Penggunaan kontrasepsi progestin oral, estrogen dosis tinggi pasca ovulasi
(morning after pill) dan induksi ovulasi meningkatkan risiko untuk mengalami
kehamilan ektopik.
F. Diagnosis
Diagnosis kehamilan ektopik terganggu ditegakkan dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (Taran, et al., 2015)
1. Anamnesis
Haid biasanya terlambat untuk beberapa waktu dan
kadang-kadang terdapat gejala subjektif kehamilan muda. Nyeri perut bagian
bawah, nyeri bahu, tenesmus. Perdarahan pervaginam terjadi setelah nyeri perut
bagian bawah (Taran, et al., 2015)
2. Pemeriksaan Umum
Penderita tampak kesakitan dan pucat, pada perdarahan
dalam rongga perut tanda-tanda syok dapat ditemukan. (Taran, et al., 2015)
3. Pemeriksaan Ginekologi
Tanda-tanda kehamilan muda mungkin ditemukan. Pergerakan
serviks menyebabkan nyeri. Bila uterus diraba, maka akan teraba sedikit
membesar dan kadang-kadang teraba tumor di samping uterus dengan batas yang
sukar ditentukan. Kavum douglasi menonjol dan nyeri raba menunjukkan adanya
hematokel retrouterina. Suhu kadang naik sehingga menyulitkan
perbedaan dengan infeksi pelvik.(Taran, et al., 2015)
4. Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang
a. Hemoglobin, hematokrit, dan hitung leukosit
Pemeriksaan hemoglobin (Hb) dan jumlah sel darah merah
berguna menegakkan diagnosa kehamilan ektopik terganggu, terutama bila ada
tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut. Perlu diingat, bahwa turunnya Hb
disebabkan darah diencerkan oleh air dari jaringan untuk mempertahankan volume
darah. Hal ini memerlukan waktu 1-2 hari. Mungkin pada pemeriksaan Hb yang
pertama-tama kadar Hb belum seberapa turunnya maka kesimpulan adanya perdarahan
didasarkan atas penurunan kadar Hb pada pemeriksaan Hb berturut-turut. Derajat
leukositosis sangat bervariasi pada kehamilan ektopik yang mengalami ruptur,
nilainya bisa normal sampai 30.000/µl. (Kopani, et. al.,2010)
b. Gonadotropin korionik (hCG Urin)
Tes urin paling sering menggunakan tes slide inhibisi
aglutinasi dengan sensitivitas untuk gonadotropin korionik dalam kisaran 500
sampai 800 mlU/ml. Kemungkinan bernilai positif pada kehamilan ektopik hanya
sampai 50-60%. Kalaupun digunakan tes jenis tabung, dengan gonadotropin
korionik berkisar antara 150-250 mlU/ml, dan tes ini positif pada 80-85%
kehamilan ektopik. Tes yang menggunakan ELISA (Enzyme-Linked Immunoabsorbent
Assays) sensitif untuk kadar 10-50 mlU/ml dan positif pada 95% kehamilan
ektopik. (Kopani, et. al.,2010)
c. β-hCG serum
Pengukuran kadar β-hCG secara kuantitatif adalah standar
diagnostik untuk mendiagnosa kehamilan ektopik. Pada kehamilan normal
intrauterin, kadar β-hCG serum naik 2 kali lipat tiap 2 hari selama kehamilan.
Peningkatan kadar β-hCG serum kurang dari 66% menandakan suatu kehamilan intrauterin
abnormal atau kehamilan ektopik. Pemeriksaan β-hCG serum secara berkala perlu
dilakukan untuk membedakan suatu kehamilan normal atau tidak dan memantau
resolusi kehamilan ektopik setelah terapi.
(Kopani, et. al.,2010)
d. Kuldosentesis
Kuldosentesis adalah suatu cara pemeriksaan untuk
mengetahui ada tidaknya darah dalam kavum douglasi atau mengidentifikasi
hematoperitoneum. Serviks ditarik kedepan kearah simfisis dengan tenakulum, dan
jarum ukuran 16 atau 18 dimasukkan melalui forniks posterior kedalam kavum
douglasi. Bila ditemukan darah, maka isinya disemprotkan pada kain kasa dan
perhatikan darah yang dikeluarkan merupakan :
-
Darah segar berwarna merah yang dalam
beberapa menit akan membeku, darah ini berasal dari arteri atau vena yang
tertusuk.
-
Darah berwarna coklat sampai hitam yang
tidak membeku atau yang berupa bekuan kecil, darah ini menunjukkan adanya
hematokel retrouterina.
Untuk
mengataakan bahwa punksi kavum douglasi positif, artinya adanya perdarahan
dalam rongga perut dan darah yang diisap mempunyai sifat warna merah tua, tidak
membeku setelah diisap, dan biasnya di dalam terdapat gumpalan-gumpalan darah
yang kecil(Sivalingam, et al., 2011).
e. Ultrasonografi
Ultrasonografi abdomen berguna dalam diagnostik kehamilan
ektopik. Diagnosis pasti ialah apabila ditemukan kantung gestasi diluar uterus
yang didalamnya terdapat denyut jantung janin.Pada kehamilan ektopik terganggu
dapat ditemukan cairan bebas dalam rongga peritoneum terutama dalam kavum
douglasi.11 Ultrasonografi vagina dapat menghasilkan diagnosis
kehamilan ektopik dengan sensitifitas dan spesifitas 96%. Kriterianya antara
lain adalah identifikasi kantong gestasi berukuran 1-3 mm atau lebih besar,
terletak eksentrik di uterus, dan dikelilingi oleh reaksi desidua-korion(Sivalingam, et al., 2011)
f. Laparoskopi
Laparoskopi hanya digunakan sebagai alat bantu diagnostik
terakhir untuk kehamilan ektopik, apabila hasil penilaian prosedur diagnostik
yang lain meragukan. Melalui prosedur laparaskopik, alat kandungan bagian dalam
dapat dinilai. Secara sistematis dinilai keadaan uterus, ovarium, tuba, kavum
douglasi, dan ligamentum latum. Adanya darah dalam rongga pelvis mungkin
mempersulit visualisasi alat kandungan. Akan tetapi hal ini menjadi indikasi
untuk dilakukan laparatomi(Sivalingam, et al., 2011)
g. Laparatomi
Tindakan ini lebih disukai jika wanita tersebut secara
hemodinamik tidak stabil atau tidak mungkin dilakukan laparoskopi (Sivalingam, et al., 2011)
G. Diagnosis banding
Keadaan-keadaan patologis baik di dalam maupun di luar
bidang obstetri-ginekologi perlu dipikirkan sebagai diagnosis banding kehamilan
ektopik terganggu. Keadaan-keadaan patologik tersebut antara lain :
1. Infeksi Pelvis
Gejala yang menyertai infeksi pelvik biasanya timbul
waktu haid dan jarang setelah mengalami amenore. Nyeri perut bagian bawah dan
tahanan yang dapat diraba pada pemeriksaan vaginal pada umumnya bilateral. Pada
infeksi pelvik perbedaan suhu rektal dan axilla melebihi 0,5’C.
Selain itu, leukositosis lebih tinggi daripada kehamilan ektopik dan tes
kehamilan negatif. Biasanya ada riwayat serangan nyeri perut sebelumnya.
2. Abortus imminens atau insipiens
Perdarahan lebih banyak dan lebih merah sesudah amenore,
rasa nyeri yang berlokasi di sekitar median dan bersifat mules lebih
menunjukkan kearah abortus imminens atau permulaan abortus insipiens. Pada
abortus tidak dapat diraba tahanan di samping atau di belakang uterus dan
gerakan serviks uteri tidak menimbulkan rasa nyeri. Pada abortus, umumnya
perdarahan lebih banyak dan sering ada pembukaan portio serta uterus biasanya besar
dan lunak.
3. Ruptur korpus luteum
Peristiwa ini biasanya terjadi di pertengahan siklus
haid. Perdarahan pervaginam tidak ada dan tes kehamilan negatif.
4. Torsi kista ovarium
Gejala dan tanda kehamilan muda, amenore, dan perdarahan
pervaginam biasanya tidak ada. Tumor pada kista ovarium lebih besar dan lebih
bulat daripada kehamilan ektopik.
5. Appendisitis
Tidak ditemukan tumor dan nyeri tekan pada gerakan
serviks tidak seberapa nyata seperti pada kehamilan ektopik. Nyeri perut bagian
bawah pada appendisitis terletak pada titik McBurney(Taran, et al., 2015).
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kehamilan ektopik tergantung pada beberapa hal, antara lain
lokasi kehamilan dan tampilan klinis. Sebagai contoh, penatalaksanaan kehamilan
tuba berbeda dari penatalaksanaan kehamilan abdominal. Selain itu, perlu
dibedakan pula penatalaksanaan kehamilan ektopik yang belum terganggu dari
kehamilan ektopik terganggu. Tentunya penatalaksanaan pasien dengan kehamilan
ektopik yang belum terganggu berbeda dengan penatalaksanaan pasien dengan
kehamilan ektopik terganggu yang menyebabkan syok (Cunningham, 2006).
Seorang pasien yang terdiagnosis dengan kehamilan tuba dan masih dalam
kondisi baik dan tenang, memiliki 3 pilihan, yaitu penatalaksanaan ekspektasi
(expectant management), penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan bedah.
Penatalaksanaan Ekspektasi
Penatalaksanaan ekspektasi didasarkan pada fakta bahwa
sekitar 75% b-hCG.bpasien
dengan kehamilan ektopik akan mengalami penurunan kadar Pada penatalaksanaan
ekspektasi, kehamilan ektopik dini dengan kadar b-hCG yang stabil atau cenderung turun diobservasi ketat. Oleh sebab itu,
tidak semua pasien dengan kehamilan ektopik dapat menjalani penatalaksanaan
seperti ini. Penatalaksanaan ekspektasi dibatasi pada b-hCG yang keadaan-keadaan berikut:
a.
kehamilan ektopik dengan kadar menurun,
b. kehamilan tuba,
c. tidak
ada perdarahan intraabdominal atau ruptur, dan
d. diameter massa ektopik tidak melebihi 3.5 cm.
Sumber b-hCG
awal harus kurang dari 1000 mIU/mL, sumber lain
menyebutkan bahwa kadar dan diameter massa ektopik tidak melebihi 3.0 cm.
Dikatakan bahwa penatalaksanaan ekspektasi ini efektif pada 47-82% kehamilan
tuba (Birge, 2015).
Penatalaksanaan Medis
Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat
merusak integritas jaringan dan sel hasil konsepsi. Kandidat-kandidat penerima
tatalaksana medis harus memiliki syarat-syarat berikut ini: keadaan hemodinamik
yang stabil, bebas nyeri perut bawah, tidak ada aktivitas jantung janin, tidak
ada cairan bebas dalam rongga abdomen dan kavum Douglas, harus teratur
menjalani terapi, harus menggunakan kontrasepsi yang efektif selama 3-4 bulan
pascaterapi, tidak memiliki penyakit-penyakit penyerta, sedang tidak menyusui,
tidak ada kehamilan intrauterin yang koeksis, memiliki fungsi ginjal, hepar dan
profil darah yang normal, serta tidak memiliki kontraindikasi terhadap
pemberian methotrexate. Berikut ini akan dibahas beberapa metode terminasi
kehamilan ektopik secara medis (Birge, 2015)
a. Methotrexate
Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan untuk terapi
keganasan, termasuk penyakit trofoblastik ganas. Pada penyakit trofoblastik,
methotrexate akan merusak sel-sel trofoblas, dan bila diberikan pada pasien
dengan kehamilan ektopik, methotrexate diharapkan dapat merusak sel-sel
trofoblas sehingga menyebabkan terminasi kehamilan tersebut. Seperti halnya
dengan penatalaksanaan medis untuk kehamilan ektopik pada umumnya,
kandidat-kandidat untuk terapi methotrexate harus stabil secara hemodinamis
dengan fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang normal (Birge,
2015)
Harus diketahui pula bahwa terapi methotrexate maupun medis secara umum
mempunyai angka kegagalan sebesar 5-10%, dan angka kegagalan meningkat pada
usia gestasi di atas 6 minggu atau bila massa hasil konsepsi berdiameter lebih
dari 4 cm. Pasien harus diinformasikan bahwa bila terjadi kegagalan terapi
medis, pengulangan terapi diperlukan, dan pasien harus dipersiapkan untuk
kemungkinan menjalani pembedahan. Selain itu, tanda-tanda kehamilan
ektopik terganggu harus selalu diwaspadai. Bila hal tersebut terjadi, pasien
harus sesegera mungkin menjalani pembedahan. Senggama dan konsumsi asam folat
juga dilarang. Tentunya methotrexate menyebabkan beberapa efek samping yang
harus diantisipasi, antara lain gangguan fungsi hepar, stomatitis, gastroenteritis
dan depresi sumsum tulang. Beberapa prediktor keberhasilan terapi dengan
methotrexate yang b-hCG, progesteron, disebutkan dalam literatur antara lain
kadar aktivitas jantung janin, ukuran massa hasil konsepsi dan ada/tidaknya
cairan bebas dalam rongga peritoneum. Namun disebutkan dalam sumber b-hCG-lah yang bermakna secara statistik. Untuk lain bahwa
hanya kadar b-hCG serial dibutuhkan. Pada memantau keberhasilan terapi, pemeriksaan hari-hari pertama setelah
dimulainya pemberian methotrexate, 65-75% pasien akan mengalami nyeri abdomen
yang diakibatkan pemisahan hasil konsepsi dari tempat implantasinya (separation
pain), dan hematoma yang meregangkan dinding tuba. Nyeri ini dapat diatasi
dengan analgetik b-hCG umumnya tidak terdeteksi lagi dalam 14-21 hari nonsteroidal. setelah pemberian methotrexate. Pada hari-hari pertama pula
massa hasil konsepsi akan tampak membesar pada pencitraan ultrasonografi akibat
edema dan hematoma, sehingga jangan dianggap sebagai kegagalan terapi. b-hCG masih perlu diawasi setiapSetelah terapi berhasil, kadar minggunya
hingga kadarnya di bawah 5 mIU/mL (Kopani, 2010)
Methotrexate dapat diberikan dalam dosis tunggal maupun dosis multipel.
Dosis tunggal yang diberikan adalah 50 mg/m2 (intramuskular),
sedangkan dosis multipel yang diberikan adalah sebesar 1 mg/kg (intramuskular)
pada hari pertama, ke-3, 5, dan hari ke-7. Pada terapi dengan dosis multipel
leukovorin ditambahkan ke dalam regimen pengobatan dengan dosis 0.1 mg/kg
(intramuskular), dan diberikan pada hari ke-2, 4, 6 dan 8. Terapi methotrexate
dosis multipel tampaknya memberikan efek negatif pada patensi tuba dibandingkan
dengan terapi methotrexate dosis tunggal 9. Methotrexate dapat pula diberikan
melalui injeksi per laparoskopi tepat ke dalam massa hasil konsepsi. Terapi
methotrexate dosis tunggal adalah modalitas terapeutik paling ekonomis untuk
kehamilan ektopik yang belum terganggu (Kopani, 2010);
b. Actinomycin
Neary dan Rose melaporkan bahwa
pemberian actinomycin intravena selama 5 hari berhasil menterminasi kehamilan
ektopik pada pasien-pasien dengan kegagalan terapi methotrexate sebelumnya (Birge,2015)
c. Larutan Glukosa Hiperosmolar
Injeksi larutan glukosa hiperosmolar
per laparoskopi juga merupakan alternatif terapi medis kehamilan tuba yang belum terganggu. Yeko
dan kawan-kawan melaporkan keberhasilan injeksi larutan glukosa hiperosmolar dalam menterminasi kehamilan tuba.
Namun pada umumnya
injeksi methotrexa tetap lebih unggul. Selain itu, angka kegagalan dengan terapi injeksi larutan glukosa tersebut cukup tinggi,
sehingga
alternatif ini jarang digunakan.
PenatalaksanaanBedah
Fernandez
(1991) mengemukakan
kriteria
untuk menetapkan terapi hamil ektopik dengan cara
non-operatif
atau dengan tindakan operas isebagai berikut (Birge,2015).
Skor
|
1
|
2
|
3
|
Umur gestasi/minggu
Konsentrasi hCG
Progesterone
Nyeri perut
Hematosalping
Perdarahan intraperitonel
|
Lebih 8
Kurang 1000
Kurang 5
Tak ada
Kurang 1 cm
0
|
7 – 8
5000
5-10
Induksi
1-3 cm
1-100 cc
|
6
Lebih 5000
mIU/ml
Lebih 10
Spontan
Lebih 3
Lebih 100 cc
|
Jumlah skor diatas 6, dilakukan
tindakan operasi laparaskopi atau laparatomi. Penatalaksanaan
bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan kehamilan tuba yang belum
terganggu maupun yang sudah terganggu. Tentu saja pada kehamilan ektopik
terganggu, pembedahan harus dilakukan secepat mungkin. Pada dasarnya ada 2
macam pembedahan untuk menterminasi kehamilan tuba, yaitu pembedahan
konservatif, di mana integritas tuba dipertahankan, dan pembedahan radikal, di
mana salpingektomi dilakukan. Pembedahan konservatif mencakup 2 teknik yang
kita kenal sebagai salpingostomi dan salpingotomi. Selain itu, macam-macam
pembedahan tersebut di atas dapat dilakukan melalui laparotomi maupun
laparoskopi. Namun bila pasien jatuh ke dalam syok atau tidak stabil, maka
tidak ada tempat bagi pembedahan per laparoskopi (Birge,2015).
a. Salpingostomi
Salpingostomi adalah suatu prosedur
untuk mengangkat hasil konsepsi yang berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi
di sepertiga distal tuba fallopii. Pada prosedur ini dibuat insisi linear
sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas hasil konsepsi, di perbatasan
antimesenterik. Setelah insisi hasil konsepsi segera terekspos dan kemudian
dikeluarkan dengan hati-hati. Perdarahan yang terjadi umumnya sedikit dan dapat
dikendalikan dengan elektrokauter. Insisi kemudian dibiarkan terbuka (tidak
dijahit kembali) untuk sembuh per sekundam. Prosedur ini dapat dilakukan dengan
laparotomi maupun laparoskopi. Metode per laparoskopi saat ini menjadi gold
standard untuk kehamilan tuba yang belum terganggu. (Birge,2015)
Sebuah
penelitian di Israel membandingkan salpingostomi per laparoskopi dengan injeksi
methotrexate per laparoskopi. Durasi pembedahan pada grup salpingostomi lebih
lama daripada durasi pembedahan pada grup methotrexate, namun grup
salpingostomi menjalani masa rawat inap yang lebih singkat dan insidens
aktivitas trofoblastik persisten pada grup ini lebih rendah. Meskipun demikian
angka keberhasilan terminasi kehamilan tuba dan angka kehamilan intrauterine
setelah kehamilan tuba pada kedua grup tidak berbeda secara bermakna.(Birge,2015)
b. Salpingotomi
Pada dasarnya prosedur ini sama
dengan salpingostomi, kecuali bahwa pada salpingotomi insisi dijahit kembali.
Beberapa literatur menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna dalam hal
prognosis, patensi dan perlekatan tuba pascaoperatif antara salpingostomi dan
salpingotomi.(Birge,2015)
c. Salpingektomi
Reseksi tuba dapat dikerjakan baik
pada kehamilan tuba yang belum maupun yang sudah terganggu, dan dapat dilakukan
melalui laparotomi maupun laparoskopi. Salpingektomi diindikasikan pada
keadaan-keadaan berikut ini:
-
kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu),
-
pasien tidak menginginkan fertilitas pascaoperatif,
-
terjadi kegagalan sterilisasi,
-
telah dilakukan rekonstruksi atau
manipulasi tuba sebelumnya,
-
pasien meminta dilakukan sterilisasi,
-
perdarahan berlanjut pascasalpingotomi,
-
kehamilan tuba berulang,
-
kehamilan heterotopik, dan
-
massa gestasi berdiameter lebih dari 5
cm. (Birge,2015)
Reseksi massa hasil konsepsi dan
anastomosis tuba kadang-kadang dilakukan pada kehamilan pars ismika yang belum
terganggu. Metode ini lebih dipilih daripada salpingostomi, sebab salpingostomi
dapat menyebabkan jaringan parut dan penyempitan lumen pars ismika yang
sebenarnya sudah sempit. Pada kehamilan pars interstitialis, sering kali
dilakukan pula histerektomi untuk menghentikan perdarahan masif yang terjadi.
Pada salpingektomi, bagian tuba antara uterus dan massa hasil konsepsi diklem,
digunting, dan kemudian sisanya (stump) diikat dengan jahitan ligasi. Arteria
tuboovarika diligasi, sedangkan arteria uteroovarika dipertahankan. Tuba yang
direseksi dipisahkan dari mesosalping (Kopani, 2010)
d. Evakuasi Fimbrae dan Fimbraektomi
Bila terjadi kehamilan di fimbrae, massa hasil
konsepsi dapat dievakuasi dari fimbrae tanpa melakukan fimbraektomi. Dengan
menyemburkan cairan di bawah tekanan dengan alat aquadisektor atau spuit, massa
hasil konsepsi dapat terdorong dan lepas dari implantasinya. Fimbraektomi
dikerjakan bila massa hasil konsepsi berdiameter cukup besar sehingga tidak
dapat diekspulsi dengan cairan bertekanan.(Kopani,2010)
0 comments:
Post a Comment