August 2018 ~ Kedokteran dan Kesehatan

Thursday, August 30, 2018

Abortus


A.   Definisi

Keguguran atau abortus adalah terhentinya proses kehamilan yang sedang berlangsung sebelum mencapai umur 28 minggu atau berat janin sekitar 500 gram (Manuaba, 2007).

Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 gram atau umur kehamilan kurang dari 22 minggu atau buah kehamilan belum mampu untuk hidup di luar kandungan (Sarwono, 2008).

Abortus adalah berakhirnya kehamilan melalui cara apapun, spontan maupun buatan, sebelum janin mampu bertahan hidup. Batasan ini berdasar umur kehamilan dan berat badan. Dengan lain perkataan abortus adalah terminasi kehamilan sebelum 20 minggu atau dengan berat kurang dari 500 gr (Handono, 2009).



B.   Etiologi

Penyebab abortus ada berbagai macam yang diantaranya adalah :

1)      Faktor maternal

a) Kelainan genetalia ibu

                Misalnya pada ibu yang menderita:

1.      Anomali kongenital (hipoplasia uteri, uterus bikornis, dan lain-lain).

2.      Kelainan letak dari uterus seperti retrofleksi uteri fiksata.

3.      Tidak sempurnanya persiapan uterus dalam menanti nidasi dari     ovum yang sudah dibuahi, seperti kurangnya progesteron atau estrogen, endometritis, dan mioma submukosa.

4.      Uterus terlalu cepat teregang (kehamilan ganda, mola hidatidosa).

5.      Distorsia uterus, misalnya karena terdorong oleh tumor pelvis.

b) Penyakit-penyakit ibu

Penyebab abortus belum diketahui secara pasti penyebabnya meskipun    sekarang berbagai penyakit medis, kondisilingkungan, dan kelainan perkembangan diperkirakan berperan dalam abortus. Misalnya pada:

1.      Penyakit infeksi yang menyebabkan demam tinggi seperti pneumonia, tifoid, pielitis, rubeola, demam malta, dan sebagainya. Kematian fetus dapat disebabkan karena toksin dari ibu atau invasi kuman atau virus pada fetus.

2.      Keracunan Pb, nikotin, gas racun, alkohol, dan lain-lain.

3.      Ibu yang asfiksia seperti pada dekompensasi kordis, penyakit paru berat, anemi gravis.

4.      Malnutrisi, avitaminosis dan gangguan metabolisme, hipotiroid, kekurangan vitamin A, C, atau E, diabetes melitus.

c) Antagonis rhesus

Pada antagonis rhesus, darah ibu yang melalui plasenta merusak darah fetus, sehingga terjadi anemia pada fetus yang berakibat meninggalnya fetus.

d) Perangsangan pada ibu yang menyebabkan uterus berkontraksi

Misalnya, sangat terkejut, obat-obat uterotonika, ketakutan, laparatomi,   dan lain-lain. Dapat juga karena trauma langsung terhadap fetus: selaput janin rusak langsung karena instrument, benda, dan obat-obatan.

e) Gangguan sirkulasi plasenta

Dijumpai pada ibu yang menderita penyakit nefritis, hipertensi, toksemia gravidarum, anomali plasenta, dan endarteritis oleh karena lues.

f) Usia ibu

Usia juga dapat mempengaruhi kejadian abortus karena pada usia kurang dari 20 tahun belum matangnya alat reproduksi untuk hamil sehingga dapat merugikan kesehatan ibu maupun pertumbuhan dan perkembangan janin, sedangkan abortus yang terjadi pada usia lebih dari 35 tahun disebabkan berkurangnya fungsi alat reproduksi, kelainan pada kromosom, dan penyakit kronis.

2)      Faktor janin

Menurut Hertig dkk, pertumbuhan abnormal dari fetus sering menyebabkan abortus spontan. Menurut penyelidikan mereka, dari 1000 abortus spontan, maka 48,9% disebabkan karena ovum yang patologis; 3,2% disebabkan oleh kelainan letak embrio; dan 9,6% disebabkan karena plasenta yang abnormal. Pada ovum abnormal 6% diantaranya terdapat degenerasi hidatid vili. Abortus spontan yang disebabkan oleh karena kelainan dari ovum berkurang kemungkinannya kalau kehamilan sudah lebih dari satu bulan, artinya makin muda kehamilan saat terjadinya abortus makin besar kemungkinan disebabkan oleh kelainan ovum (50-80%).

3)      Faktor paternal

Tidak banyak yang diketahui tentang faktor ayah dalam terjadinya abortus. Yang jelas, translokasi kromosom pada sperma dapat menyebabkan abortus. Saat ini abnormalitas kromosom pada sperma berhubungan dengan abortus (Carrel, 2003). Penyakit ayah: umur lanjut, penyakit kronis seperti TBC, anemi, dekompensasi kordis, malnutrisi, nefritis, sifilis, keracunan (alcohol, nikotin, Pb, dan lain-lain), sinar rontgen, avitaminosis (Muchtar, 2002).



C.   Klasifikasi Abortus

1)      Abortus spontan

      Abortus yang terjadi tanpa tindakan mekanis atau medis untuk mengosongkan uterus, maka abortus tersebut dinamai abortus spontan. Kata lain yang luas digunakan adalah keguguran (Miscarriage). Abortus spontan secara klinis dapat dibedakan antara abortus imminens, abortus insipiens, abortus inkompletus, abortus kompletus. Selanjutnya, dikenal pula missed abortion, abortus habitualis, abortus infeksiosus dan aborrtus septik.

a)      Abortus imminens (keguguran mengancam)

        Peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam uterus, dan tanpa adanya dilatasi serviks. Diagnosis abortus imminens ditentukan karena pada wanita hamil terjadi perdarahan melalui ostium uteri eksternum, disertai mules sedikit atau tidak sama sekali, uterus membesar sebesar tuanya kehamilan, serviks belum membuka, dan tes kehamilan positif. Pada beberapa wanita hamil dapat terjadi perdarahan sedikit pada saat haid yang semestinya datang jika tidak terjadi pembuahan. Hal ini disebabkan oleh penembusan villi koreales ke dalam desidua, pada saat implantasi ovum. Perdarahan implantasi biasanya sedikit, warnanya merah, cepat berhenti, dan tidak disertai mules-mules.

b)      Abortus incipiene (keguguran berlangsung)

          Peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat, tetapi hasil konsepsi masih dalam uterus. Dalam hal ini rasa mules menjadi lebih sering dan kuat, perdarahan bertambah.

c)      Abortus incomplet (keguguran tidak lengkap)

         Pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus. Pada pemeriksaan vaginal, kanalis servikalis terbuka dan jaringan dapat diraba dalam kavum uteri atau kadang kadang sudah menonjol dari ostium uteri eksternum.

d)     Abortus complet (keguguran lengkap)

         Perdarahan pada kehamilan muda di mana seluruh hasil konsepsi telah di keluarkan dari kavum uteri. Seluruh buahkehamilan telah dilahirkan dengan lengkap. Pada penderita ditemukan perdarahan sedikit, ostium uteri telah menutup, dan uterus sudah banyak mengecil. Diagnosis dapat di permudah apabila hasil konsepsi dapat diperiksa dan dapat dinyatakan bahwa semuanya sudah keluar dengan lengkap.

e)      Abortus infeksiosa dan Abortus septik

           Abortus infeksiosa adalah abortus yang disertai infeksi pada genitalia, sedangkan abortus septik adalah abortus infeksiosa berat dengan penyebaran kuman atau toksinnya ke dalam peredaran darah atau peritoneum. Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi pada tiap abortus, tetapi biasanya ditemukan pada abortus inkompletus dan lebih sering ditemukan pada abortus buatan yang dikerjakan tanpa memperhatikan asepsis dan antisepsis. Umumnya pada abortus infeksiosa, infeksi terbatas pada desidua. Pada abortus septik virulensi bakteri tinggi, dan infeksi menyebar ke miometrium, tuba, parametrium, dan peritoneum. Apabila infeksi menyebar lebih jauh, terjadilah peritonitis umum atau sepsis, dengan kemungkinan diikuti oleh syok.

           Diagnosis abortus infeksiosa ditentukan dengan adanya abortus yang disertai gejala dan tanda infeksi genitalia, seperti panas, takikardi, perdarahan pervaginam berbau, uterus yang membesar, lembek, serta nyeri tekan, dan leukositosis. Apabila terdapat sepsis, penderita tampak sakit berat, kadang-kadang menggigil, demam tinggi dan tekanan darah menurun.

f)       Missed abortion (retensi janin mati)

           Kematian janin sebelum berusia 20 minggu, tetapi janin yang mati tertahan di dalam kavum uteri tidak dikeluarkkan selama 8 minggu atau lebih. Missed abortion biasanya didahului oleh tanda-tanda abortus imminens yang kemudian menghilang secara spontan atau setelah pengobatan. Gejala subyektif kehamilan menghilang, mammae agak mengendor lagi, uterus tidak membesar lagi malah mengecil, dan tes kehamilan menjadi negatif. Dengan ultrasonografi dapat ditentukan segera apakah janin sudah mati dan besarnya sesuai dengan usia kehamilan.

g)      Abortus habitualis

           Keadaan dimana penderita mengalami keguguran berturutturut tiga kali atau lebih. Pada umumnya penderita tidak sukar menjadi hamil, tetapi kehamilannya berakhir sebelum 28 minggu. Bishop melaporkan frekuensi 0,41% abortus habitualis pada semua kehamilan. Menurut Malpas dan Eastman kemungkinan terjadi abortus lagi pada seorang wanita mengalami abortus habitualis ialah 73% dan 83,6%. Sebaliknya, Warton dan Fraser dan Llwellyn-Jones memberi prognosis lebih baik, yaitu 25,9% dan 39% (Sarwono, 2008).

2)      Abortus provokatus

           Abortus terinduksi adalah terminasi kehamilan secara medis atau bedah sebelum janin mampu hidup. Pada tahun 2000, total 857.475 abortus legal dilaporkan ke Centers for Disease Control and Prevention (2003). Sekitar 20% dari para wanita ini berusia 19 tahun atau kurang, dan sebagian besar berumur kurang dari 25 tahun, berkulit putih, dan belum menikah. Hampir 60% abortus terinduksi dilakukan sebelum usia gestasi 8 minggu, dan 88% sebelum minggu ke 12 kehamilan (Centers for Disease Control and Prevention, 2000).

          Manuaba (2007), menambahkan abortus buatan adalah tindakan abortus yang sengaja dilakukan untuk menghilangkan kehamilan sebelum umur 28 minggu atau berat janin 500 gram. Abortus ini terbagi lagi menjadi:

a)    Abortus therapeutic (Abortus medisinalis)

Abortus karena tindakan kita sendiri, dengan alasan bila kehamilan dilanjutkan, dapat membahayakan jiwa ibu (berdasarkan indikasi medis). Biasanya perlu mendapat persetujuan 2 sampai 3 tim dokter ahli.

b)   Abortus kriminalis

Abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi medis.

c)    Unsafe Abortion

Upaya untuk terminasi kehamilan muda dimana pelaksana tindakan tersebut tidak mempunyai cukup keahlian dan prosedur standar yang aman sehingga dapat membahayakan keselamatan jiwa pasien.



D.   Patologi

Komplikasi yang berbahaya pada abortus adalah perdarahan, perforasi, infeksi, syok, dan gagal ginjal akut.

1)      Perdarahan

Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisasisa hasil konsepsi dan jika perlu pemberian transfusi darah.Kematian karena perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan pada waktunya.

2)      Perforasi

Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam posisi hiperretrofleksi. Jika terjadi peristiwa ini, penderita pelu diamati dengan teliti. Jika ada tanda bahaya, perlu segera dilakukan laparotomi, dan tergantung dari luas dan bentuk perforasi, penjahitan luka perforasi atau perlu histerektomi. Perforasi uterus pada abortus yang dikerjakan oleh orang awam menimbulkan persolan gawat karena perlukaan uterus biasanya luas, mungkin pula terjadi perlukaan pada kandung kemih atau usus. Dengan adanya dugaan atau kepastian terjadinya perforasi, laparotomi harus segera dilakukan untuk menentukan luasnya cedera, untuk selanjutnya mengambil tindakan-tindakan seperlunya guna mengatasi komplikasi.

3)      Infeksi

Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi pada tiap abortus, tetapi biasanya ditemukan pada abortus inkompletus dan lebih sering pada abortus buatan yang dikerjakan tanpa memperhatikan asepsis dan antisepsis. Apabila infeksi menyebar lebih jauh, terjadilah peritonitis umum atau sepsis, dengan kemungkinan diikuti oleh syok.

4)      Syok

Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan infeksi berat (syok endoseptik).

5)      Gagal ginjal akut

Gagal ginjal akut yang persisten pada kasus abortus biasanya berasal dari efek infeksi dan hipovolemik yang lebih dari satu. Bentuk syok bakterial yang sangat berat sering disertai dengan kerusakan ginjal intensif. Setiap kali terjadi infeksi klostridium yang disertai dengan komplikasi hemoglobenimia intensif, maka gagal ginjal pasti terjadi. Pada keadaan ini, harus sudah menyusun rencana untuk memulai dialysis yang efektif secara dini sebelum gangguan metabolik menjadi berat.




E.   Diagnosis

Menurut WHO, setiap wanita pada usia reproduktif yang mengalami dua daripada tiga gejala seperti di bawah harus dipikirkan kemungkinan terjadinya abortus:

i. Perdarahan pada vagina.

ii. Nyeri pada abdomen bawah.

iii. Riwayat amenorea.



Ultrasonografi penting dalam mengidentifikasi status kehamilan dan memastikan bahwa suatu kehamilan adalah intrauterin. Apabila ultrasonografi transvaginal menunjukkan sebuah rahim kosong dan tingkat serum Hcg kuantitatif lebih besar dari 1.800 mIU per mL (1.800 IU per L), kehamilan ektopik harus dipikirkan. Ketika ultrasonografi transabdominal dilakukan, sebuah rahim kosong harus menimbulkan kecurigaan kehamilan ektopik jika kadar hCG kuantitatif lebih besar dari 3.500 mIU per mL (3.500 IU per L). Rahim yang ditemukan kosong pada pemeriksaan USG dapat mengindikasikan suatu abortus kompletus, tetapi diagnosis tidak definitif sehingga kehamilan ektopik disingkirkan.

Menurut Sastrawinata dan kawan-kawan (2005), diagnosa abortus menurut gambaran klinis adalah seperti berikut:

i. Abortus Iminens (Threatened abortion)

a. Anamnesis – perdarahan sedikit dari jalan lahir dan nyeri perut tidak ada atau ringan.

b. Pemeriksaan dalam – fluksus ada (sedikit), ostium uteri tertutup, dan besar uterus sesuai dengan umur kehamilan.

c. Pemeriksaan penunjang – hasil USG.

ii. Abortus Insipiens (Inevitable abortion)

a. Anamnesis – perdarahan dari jalan lahir disertai nyeri / kontraksi rahim.

b. Pemeriksaan dalam – ostium terbuka, buah kehamilan masih dalam rahim, dan ketuban utuh (mungkin menonjol).

iii. Abortus Inkompletus atau abortus kompletus

a. Anamnesis – perdarahan dari jalan lahir (biasanya banyak), nyeri / kontraksi rahim ada, dan bila perdarahan banyak dapat terjadi syok.

b. Pemeriksaan dalam – ostium uteri terbuka, teraba sisa jaringan buah kehamilan.

iv. Abortus Tertunda (Missed abortion)

a. Anamnesis - perdarahan bisa ada atau tidak.

b. Pemeriksaan obstetri – fundus uteri lebih kecil dari umur kehamilan dan bunyi jantung janin tidak ada.

c. Pemeriksaan penunjang – USG, laboratorium (Hb, trombosit, fibrinogen, waktu perdarahan, waktu pembekuan dan waktu protrombin).



Diagnosa abortus habitualis (recurrent abortion) dan abortus septik (septic abortion) menurut Mochtar (1998) adalah seperti berikut:

i. Abortus Habitualis (Recurrent abortion)

a. Histerosalfingografi – untuk mengetahui ada tidaknya mioma uterus submukosa dan anomali kongenital.

b. BMR dan kadar yodium darah diukur untuk mengetahui apakah ada atau tidak gangguan glandula thyroidea.

ii. Abortus Septik (Septic abortion)

a. Adanya abortus : amenore, perdarahan, keluar jaringan yang telah ditolong di luar rumah sakit.

b. Pemeriksaan : kanalis servikalis terbuka, teraba jaringan, perdarahan dan sebagainya.

c. Tanda-tanda infeksi alat genital : demam, nadi cepat, perdarahan, nyeri tekan dan leukositosis.

d. Pada abortus septik : kelihatan sakit berat, panas tinggi, menggigil, nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun sampai syok.



F.    Penatalaksanaan

Pada abortus insipiens dan abortus inkompletus, bila ada tanda-tanda syok maka diatasi dulu dengan pemberian cairan dan transfuse darah. Kemudian, jaringan dikeluarkan secepat mungkin dengan metode digital dan kuretase. Setelah itu, beri obat-obat uterotonika dan antibiotika. Pada keadaan abortus kompletus dimana seluruh hasil konsepsi dikeluarkan (desidua dan fetus), sehingga rongga rahim kosong, terapi yang diberikan hanya uterotonika. Untuk abortus tertunda, obat diberi dengan maksud agar terjadi his sehingga fetus dan desidua dapat dikeluarkan, kalau tidak berhasil, dilatasi dan kuretase dilakukan.

Histerotomia anterior juga dapat dilakukan dan pada penderita, diberikan tonika dan antibiotika. Pengobatan pada kelainan endometrium pada abortus habitualis lebih besar hasilnya jika dilakukan sebelum ada konsepsi daripada sesudahnya. Merokok dan minum alkohol sebaiknya dikurangi atau dihentikan. Pada serviks inkompeten, terapinya adalah operatif yaitu operasi Shirodkar atau McDonald (Mochtar, 1998).

Kehamilan Ektopik Tertanggu


A.    Definisi


Kehamilan ektopik adalah kehamilan dimana sel telur yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh di luar endometrium kavum uterus. Kehamilan ektopik dapat terjadi di luar rahim misalnya dalam tuba, ovarium atau rongga perut, tetapi dapat juga terjadi di dalam rahim di tempat yang luar biasa misalnya dalam serviks, pars interstitialis atau dalam tanduk rudimeter rahim.

Kehamilan ektopik merupakan kehamilan yang berbahaya karena tempat implantasinya tidak memberikan kesempatan untuk tumbuh kembang mencapai aterm. Kehamilan ektopik terganggu (KET) adalah keadaan dimana timbul gangguan pada kehamilan tersebut sehingga terjadi abortus maupun ruptur yang menyebabkan penurunan keadaan umum pasien.

B.     Klasifikasi


Klasifikasi kehamilan ektopik berdasarkan tempat terjadinya implantasi dari kehamilan ektopik, dapat dibedakan menurut:

·      Kehamilan tuba adalah kehamilan ektopik pada setiap bagian dari tuba fallopi. Sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba (95%). Konseptus dapat berimplantasi pada ampulla (55%), isthmus (25%), fimbrial (17%), atau pun pada interstisial (2%) dari tuba. Tuba fallopi mempunyai kemampuan untuk berkembang yang terbatas, sehingga sebagian besar akan pecah (ruptura) pada umur kehamilan 35-40 hari.

·      Kehamilan ovarial merupakan bentuk yang jarang (0,5%) dari seluruh kehamilan ektopik dimana sel telur yang dibuahi bernidasi di ovarium.Meskipun daya akomodasi ovarium terhadap kehamilan lebih besar daripada daya akomodasi tuba, kehamilan ovarium umumnya mengalami ruptur pada tahap awal.

·      Kehamilan servikal adalah bentuk dari kehamilan ektopik yang jarang sekali terjadi. Nidasi terjadi dalam selaput lendir serviks. Dengan tumbuhnya telur, serviks mengembang. Kehamilan serviks jarang melewati usia gestasi 20 minggu sehingga umumnya hasil konsepsi masih kecil dan dievakuasi dengan kuretase.

·      Kehamilan Abdominal

Kehamilan ini terjadi satu dalam 15.000 kehamilan, atau kurang dari 0,1% dari seluruh kehamilan ektopik. Kehamilan Abdominal ada 2 macam :

a.    Primer, dimana telur dari awal mengadakan implantasi dalam rongga perut.

b.    Sekunder, yaitu pembentukan zigot terjadi ditempat yang lain misalnya di dalam saluran telur atau ovarium yang selanjutnya berpindah ke dalam ronggaabdomen oleh karena terlepas dari tempat asalnya. Hampir semua kasus kehamilan abdominal merupakan kehamilan ektopik sekunder akibat rupture atau aborsi kehamilan tuba atau ovarium ke dalam rongga abdomen. Walaupun ada kalanya kehamilan abdominal mencapai umur cukup bulan, hal ini jarang terjadi, yang lazim ialah bahwa janin mati sebelum tercapai maturitas (bulan ke 5 atau ke 6) karena pengambilan makanan kurang sempurna.

·      Kehamilan Heterotopik adalah kehamilan ektopik yang dapat terjadi bersama dengan kehamilan intrauterin. Kehamilan heterotipik ini sangat langka, terjadi satu dalam 17.000-30.000 kehamilan ektopik.

·      Kehamilan heterotopik dapat di bedakan atas :

a.    Kehamilan kombinasi (Combined Ectopic Pregnancy) yaitu kehamilan yangdapat berlangsung dalam waktu yang sama dengan kehamilan intrautrin normal.

b.    Kehamilan ektopik rangkap (Compound Ectopic Pregnancy) yaitu terjadinya kehamilan intrauterin setelah lebih dahulu terjadi kehmilan ektopik yang telah mati atau pun ruptur dan kehamilan intrauterin yang terjadi kemudian berkembang seperti biasa.

·      Kehamilan interstisial yaitu implantasi telur terjadi dalam pars interstitialis tuba. Kehamilan ini juga disebut sebagai kehamilan kornual (kahamilan intrauteri, tetapi implantasi plasentanya di daerah kornu, yang kaya akan pembuluh darah). Karena lapisan myometrium di sini lebih tebal maka ruptur terjadi lebih lambat kira-kira pada bulan ke 3 atau ke 4.18 Kehamilan interstisial merupakan penyebab kematian utama dari kehamilan ektopik yang pecah.

·      Kehamilan intraligamenter

Kehamilan intraligamenter berasal dari kehamilan ektopik dalam tuba yang pecah. Konseptus yang terjatuh ke dalam ruangan ekstra peritoneal ini apabila lapisan korionnya melekat dengan baik dan memperoleh vaskularisasi di situ fetusnya dapat hidup dan berkembang dan tumbuh membesar. Dengan demikian proses kehamilan ini serupa dengan kehamilan abdominal sekunder karena keduanya berasal dari kehamilan ektopik dalam tuba yang pecah.

·      Kehamilan tubouteina merupakan kehamilan yang semula mengadakan implantasi pada tuba pars interstitialis, kemudian mengadakan ekstensi secara perlahan-lahan ke dalam kavum uteri.

·      Kehamilan tuboabdominal berasal dari tuba, dimana zigot yang semula megadakan implantasi di sekitar bagian fimbriae tuba, secara beangsur mengadakan ekstensi ke kavum peritoneal.

·      Kehamilan tuboovarial digunakan bila kantung janin sebagian melekat pada tuba dan sebagian pada jaringan ovarium (Saifuddin, et al., 2010).

C.    Patofisiologi


Hal yang paling berpengaruh terhadap terjadinya KET adalah kerusakan tuba, akibat inflamasi, infeksi atau bekas pembedahan. Beberapa hal dibawah ini ada hubungannya dengan terjadinya kehamilan ektopik:

-          Pengaruh faktor mekanik

Faktor-faktor mekanis yang menyebabkan kehamilan ektopik antara lain: riwayat operasi tuba, salpingitis, perlekatan tuba akibat operasi non-ginekologis seperti apendektomi, pajanan terhadap diethylstilbestrol, salpingitis isthmica nodosum (penonjolan-penonjolan kecil ke dalam lumen tuba yang menyerupai divertikula), dan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR). Hal-hal tersebut secara umum menyebabkan perlengketan intra- maupun ekstraluminal pada tuba, sehingga menghambat perjalanan zigot menuju kavum uteri. Faktor mekanik lain adalahpernah menderita kehamilan ektopik, pernah mengalami operasi pada saluran telur seperti rekanalisasi atau tubektomi parsial, induksi abortus berulang, tumor yang mengganggu keutuhan saluran telur.

-          Pengaruh faktor fungsional

Faktor fungsional yaitu perubahan motilitas tuba yang berhubungan dengan faktor hormonal. Dalam hal ini gerakan peristalsis tuba menjadi lamban, sehingga implantasi zigot terjadi sebelum zigot mencapai kavum uteri. Gangguan motilitas tuba dapat disebabkan oleh perobahan keseimbangan kadar estrogen dan progesteron serum. Dalam hal ini terjadi perubahan jumlah dan afinitas reseptoradrenergik yang terdapat dalam utrus dan otot polos dari saluran telur. Ini berlaku untuk kehamilan ektopik yang terjadi pada akseptor kontrasepsi oral yang mengandung hanya progestagen saja, setelah memakai estrogen dosis tinggi pascaovulasi untuk mencegah kehamilan.

Merokok pada waktu terjadi konsepsi dilaporkan meningkatkan insiden kehamilan ektopik yang diperkirakan sebagai akibat perubahan jumlah dan afinitas reseptor adrenergik dalam tuba.

-          Kegagalan kontrasepsi

Sebenarnya insiden sesungguhnya kehamilan ektopik berkurang karena kontrasepsi sendiri mengurangi insidensi kehamilan. Akan tetapi dikalangan para akseptor bisa terjadi kenaikan insiden kehamilan ektopik apabila terjadi kegagalan pada teknik sterilisasi. Alat kontrasepsi dalam rahim selama ini dianggap sebagai penyebab kehamilan ektopik. Namun ternyata hanya AKDR yang mengandung progesteron yang meningkatkan frekuensi kehamilan ektopik. AKDR tanpa progesteron tidak meningkatkan risiko kehamilan ektopik, tetapi bila terjadi kehamilan pada wanita yang menggunakan AKDR, besar kemungkinan kehamilan tersebut adalah kehamilan ektopik.

-          Peningkatan afinitas mukosa tuba

Dalam hal ini terdapat elemen endometrium ektopik yang berdaya meningkatkan implantasi pada tuba.

-          Pengaruh proses bayi tabung

Beberapa kejadian kehamilan ektopik dilaporkan terjadi pada proses kehamilan yang terjadi dengan bantuan teknik-teknik reproduksi (assisted reproduction). Kehamilan tuba dilaporkan terjadi pada GIFT (gamete intrafallopian transfer), IVF (in vitro fertilization), ovum transfer, dan induksi ovulasi. Induksi ovulasi dengan human pituitary hormone dan hCG dapat menyebabkan kehamilan ektopik bila pada waktu ovulasi terjadi peningkatan pengeluaran estrogen urin melebihi 200 mg sehari.

D.    Manifestasi Klinis


Gambaran klinik kehamilan ektopik bervariasi, tergantung bagian tuba yang ruptur. Gejala awal dan pemeriksaan yang memungkinkan untuk dapat mengidentifikasi kehamilan tuba untuk rupture pada beberapa kasus. Umumnya perempuan tidak menyadari bahwa dirinya hamil atau berpikir bahwa kehamilannya normal, atau mengalami abortus. Tanda dan gejala yang dapat terjadi antara lain:

o   Nyeri abdomen (97%)

o   Perdarahan pervaginam (79%)

o   Nyeri tekan abdomen (91%)

o   Nyeri di daerah adneksa (54%)

o   Riwayat infertile (15%)

Gambaran klasik kehamilan ektopik adalah adanya riwayat amenorea, nyeri abdomen bagian bawah, dan perdarahan dari uterus. Nyeri abdomen umunya mendahului keluhan perdarahan pervaginam, biasanya dimulai dari salah satu sisi abdomen bagian bawah, dan dengan cepat menyebar ke seluruh abdomen yang disebabkan oleh terkumpulnya darah di rongga abdomen. Adanya darah di rongga perut menyebabkan iritasi subdiafragma yang ditandai dengan nyeri pada bahu dan kadang kadang terjadi sinkop.

Periode amenorea umumnya 6-8 minggu, tetapi dapat lebih lama jika implantasi terjadi di pars interstisial atau kehamilan abdominal. Pemeriksaan klinik ditandai dengan hipotensi bahkan sampai syok, takikardi dan gejala peritoneum seperti distensi abdomen dan rebound tenderness.

Pada pemeriksaan bimanual ditemukan nyeri saat porsio digerakkan, forniks posterior vagina menonjol karena darah terkumpul di kavum douglas, atau teraba massa di salah satu sisi uterus.

Setelah fase amenorea yang singkat, pasien mengeluh adanya perdarahan pervaginam dan nyeri perut yang berulang. Sebaiknya, setiap perempuan yang mengalami amenorea disertai nyeri perut bagian bawah dicurigai adanya kemungkinan kehamilan ektopik. Pada keadaan subakut teraba massa di salah satu forniks vagina.

Diagnosis kehamilan ektopik subakut sulit ditegakkan karena sulit dibedakan dengan abortus imminens atau abortus inkomplit. Selain itu dapat pula dikacaukan dengan adanya salpingitis akut atau apendisitis dengan peritonitis pelvic. Demikian pula dengan kista ovarium yang mengalami perdarahan atau pecah.  Selain itu akan aada penurunan kadar hemoglobin karena perdarahan di rongga abdomen.

Perdarahan biasanya sedikit, berwarna coklat tua, dan dapat intermiten atau terus menerus. Pada pemeriksaan dalam ditemukan bahwa usaha menggerakkan serviks uteri menimbulkan rasa nyeri dan kavum doglas teraba menonjol, berkisar dari diameter 5 sampai 15 cm, dengan konsistensi lunak dan elastis (Sivalingam, et al., 2011).

E.     Faktor resiko


Terdapat sejumlah faktor predisposisi yang dapat menyebabkan kerusakan tuba dan disfungsi tuba.

-          Riwayat operasi tuba sebelumnya, apakah untuk memperbaiki patensi tuba ataupun untuk sterilisasi, meningkatkan risiko terjadinya penyempitan lumen.

-          Risiko untuk mengalami kehamilan ektopik kembali setelah kehamilan ektopik sebelumnya sebesar 7-15%.

-          Riwayat salpingitis-radang panggul merupakan risiko yang umum ditemukan.

-          Perlengketan perituba sebagai akibat dari pascaabortus ataupun infeksi nifas, apendisitis atau endometriosis dapat menyebabkan kinking pada tuba dan menyempitkan lumen sehingga meningkatkan risiko kehamilan tuba.

-          Riwayat seksio sesaria dihubungkan dengan risiko kehamilan ektopik meskipun rendah.

-          Penggunaan kontrasepsi progestin oral, estrogen dosis tinggi pasca ovulasi (morning after pill) dan induksi ovulasi meningkatkan risiko untuk mengalami kehamilan ektopik.

F.     Diagnosis


Diagnosis kehamilan ektopik terganggu ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (Taran, et al., 2015)

1.      Anamnesis

Haid biasanya terlambat untuk beberapa waktu dan kadang-kadang terdapat gejala subjektif kehamilan muda. Nyeri perut bagian bawah, nyeri bahu, tenesmus. Perdarahan pervaginam terjadi setelah nyeri perut bagian bawah (Taran, et al., 2015)

2.      Pemeriksaan Umum

Penderita tampak kesakitan dan pucat, pada perdarahan dalam rongga perut tanda-tanda syok dapat ditemukan. (Taran, et al., 2015)

3.      Pemeriksaan Ginekologi

Tanda-tanda kehamilan muda mungkin ditemukan. Pergerakan serviks menyebabkan nyeri. Bila uterus diraba, maka akan teraba sedikit membesar dan kadang-kadang teraba tumor di samping uterus dengan batas yang sukar ditentukan. Kavum douglasi menonjol dan nyeri raba menunjukkan adanya hematokel retrouterina. Suhu kadang naik sehingga menyulitkan perbedaan dengan infeksi pelvik.(Taran, et al., 2015)

4.      Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang

a.       Hemoglobin, hematokrit, dan hitung leukosit

Pemeriksaan hemoglobin (Hb) dan jumlah sel darah merah berguna menegakkan diagnosa kehamilan ektopik terganggu, terutama bila ada tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut. Perlu diingat, bahwa turunnya Hb disebabkan darah diencerkan oleh air dari jaringan untuk mempertahankan volume darah. Hal ini memerlukan waktu 1-2 hari. Mungkin pada pemeriksaan Hb yang pertama-tama kadar Hb belum seberapa turunnya maka kesimpulan adanya perdarahan didasarkan atas penurunan kadar Hb pada pemeriksaan Hb berturut-turut. Derajat leukositosis sangat bervariasi pada kehamilan ektopik yang mengalami ruptur, nilainya bisa normal sampai 30.000/µl. (Kopani, et. al.,2010)

b.      Gonadotropin korionik (hCG Urin)

Tes urin paling sering menggunakan tes slide inhibisi aglutinasi dengan sensitivitas untuk gonadotropin korionik dalam kisaran 500 sampai 800 mlU/ml. Kemungkinan bernilai positif pada kehamilan ektopik hanya sampai 50-60%. Kalaupun digunakan tes jenis tabung, dengan gonadotropin korionik berkisar antara 150-250 mlU/ml, dan tes ini positif pada 80-85% kehamilan ektopik. Tes yang menggunakan ELISA (Enzyme-Linked Immunoabsorbent Assays) sensitif untuk kadar 10-50 mlU/ml dan positif pada 95% kehamilan ektopik. (Kopani, et. al.,2010)

c.       β-hCG serum

Pengukuran kadar β-hCG secara kuantitatif adalah standar diagnostik untuk mendiagnosa kehamilan ektopik. Pada kehamilan normal intrauterin, kadar β-hCG serum naik 2 kali lipat tiap 2 hari selama kehamilan. Peningkatan kadar β-hCG serum kurang dari 66% menandakan suatu kehamilan intrauterin abnormal atau kehamilan ektopik. Pemeriksaan β-hCG serum secara berkala perlu dilakukan untuk membedakan suatu kehamilan normal atau tidak dan memantau resolusi kehamilan ektopik setelah terapi. (Kopani, et. al.,2010)

d.      Kuldosentesis

Kuldosentesis adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui ada tidaknya darah dalam kavum douglasi atau mengidentifikasi hematoperitoneum. Serviks ditarik kedepan kearah simfisis dengan tenakulum, dan jarum ukuran 16 atau 18 dimasukkan melalui forniks posterior kedalam kavum douglasi. Bila ditemukan darah, maka isinya disemprotkan pada kain kasa dan perhatikan darah yang dikeluarkan merupakan :

-            Darah segar berwarna merah yang dalam beberapa menit akan membeku, darah ini berasal dari arteri atau vena yang tertusuk.

-            Darah berwarna coklat sampai hitam yang tidak membeku atau yang berupa bekuan kecil, darah ini menunjukkan adanya hematokel retrouterina. Untuk mengataakan bahwa punksi kavum douglasi positif, artinya adanya perdarahan dalam rongga perut dan darah yang diisap mempunyai sifat warna merah tua, tidak membeku setelah diisap, dan biasnya di dalam terdapat gumpalan-gumpalan darah yang kecil(Sivalingam, et al., 2011).

e.       Ultrasonografi

Ultrasonografi abdomen berguna dalam diagnostik kehamilan ektopik. Diagnosis pasti ialah apabila ditemukan kantung gestasi diluar uterus yang didalamnya terdapat denyut jantung janin.Pada kehamilan ektopik terganggu dapat ditemukan cairan bebas dalam rongga peritoneum terutama dalam kavum douglasi.11 Ultrasonografi vagina dapat menghasilkan diagnosis kehamilan ektopik dengan sensitifitas dan spesifitas 96%. Kriterianya antara lain adalah identifikasi kantong gestasi berukuran 1-3 mm atau lebih besar, terletak eksentrik di uterus, dan dikelilingi oleh reaksi desidua-korion(Sivalingam, et al., 2011)

f.       Laparoskopi

Laparoskopi hanya digunakan sebagai alat bantu diagnostik terakhir untuk kehamilan ektopik, apabila hasil penilaian prosedur diagnostik yang lain meragukan. Melalui prosedur laparaskopik, alat kandungan bagian dalam dapat dinilai. Secara sistematis dinilai keadaan uterus, ovarium, tuba, kavum douglasi, dan ligamentum latum. Adanya darah dalam rongga pelvis mungkin mempersulit visualisasi alat kandungan. Akan tetapi hal ini menjadi indikasi untuk dilakukan laparatomi(Sivalingam, et al., 2011)

g.      Laparatomi

Tindakan ini lebih disukai jika wanita tersebut secara hemodinamik tidak stabil atau tidak mungkin dilakukan laparoskopi (Sivalingam, et al., 2011)

G.    Diagnosis banding


Keadaan-keadaan patologis baik di dalam maupun di luar bidang obstetri-ginekologi perlu dipikirkan sebagai diagnosis banding kehamilan ektopik terganggu. Keadaan-keadaan patologik tersebut antara lain :

1.      Infeksi Pelvis

Gejala yang menyertai infeksi pelvik biasanya timbul waktu haid dan jarang setelah mengalami amenore. Nyeri perut bagian bawah dan tahanan yang dapat diraba pada pemeriksaan vaginal pada umumnya bilateral. Pada infeksi pelvik perbedaan suhu rektal dan axilla melebihi 0,5C. Selain itu, leukositosis lebih tinggi daripada kehamilan ektopik dan tes kehamilan negatif. Biasanya ada riwayat serangan nyeri perut sebelumnya.

2.      Abortus imminens atau insipiens

Perdarahan lebih banyak dan lebih merah sesudah amenore, rasa nyeri yang berlokasi di sekitar median dan bersifat mules lebih menunjukkan kearah abortus imminens atau permulaan abortus insipiens. Pada abortus tidak dapat diraba tahanan di samping atau di belakang uterus dan gerakan serviks uteri tidak menimbulkan rasa nyeri. Pada abortus, umumnya perdarahan lebih banyak dan sering ada pembukaan portio serta uterus biasanya besar dan lunak.

3.      Ruptur korpus luteum

Peristiwa ini biasanya terjadi di pertengahan siklus haid. Perdarahan pervaginam tidak ada dan tes kehamilan negatif.

4.      Torsi kista ovarium

Gejala dan tanda kehamilan muda, amenore, dan perdarahan pervaginam biasanya tidak ada. Tumor pada kista ovarium lebih besar dan lebih bulat daripada kehamilan ektopik.

5.      Appendisitis

Tidak ditemukan tumor dan nyeri tekan pada gerakan serviks tidak seberapa nyata seperti pada kehamilan ektopik. Nyeri perut bagian bawah pada appendisitis terletak pada titik McBurney(Taran, et al., 2015).

H.    Penatalaksanaan


Penatalaksanaan kehamilan ektopik tergantung pada beberapa hal, antara lain lokasi kehamilan dan tampilan klinis. Sebagai contoh, penatalaksanaan kehamilan tuba berbeda dari penatalaksanaan kehamilan abdominal. Selain itu, perlu dibedakan pula penatalaksanaan kehamilan ektopik yang belum terganggu dari kehamilan ektopik terganggu. Tentunya penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik yang belum terganggu berbeda dengan penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik terganggu yang menyebabkan syok (Cunningham, 2006).

Seorang pasien yang terdiagnosis dengan kehamilan tuba dan masih dalam kondisi baik dan tenang, memiliki 3 pilihan, yaitu penatalaksanaan ekspektasi (expectant management), penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan bedah.

Penatalaksanaan Ekspektasi

Penatalaksanaan ekspektasi didasarkan pada fakta bahwa sekitar 75% b-hCG.bpasien dengan kehamilan ektopik akan mengalami penurunan kadar Pada penatalaksanaan ekspektasi, kehamilan ektopik dini dengan kadar b-hCG yang stabil atau cenderung turun diobservasi ketat. Oleh sebab itu, tidak semua pasien dengan kehamilan ektopik dapat menjalani penatalaksanaan seperti ini. Penatalaksanaan ekspektasi dibatasi pada b-hCG yang keadaan-keadaan berikut:

a.       kehamilan ektopik dengan kadar menurun,

b.      kehamilan tuba,

c.       tidak ada perdarahan intraabdominal atau ruptur, dan

d.      diameter massa ektopik tidak melebihi 3.5 cm.

Sumber b-hCG awal harus kurang dari 1000 mIU/mL, sumber lain menyebutkan bahwa kadar dan diameter massa ektopik tidak melebihi 3.0 cm. Dikatakan bahwa penatalaksanaan ekspektasi ini efektif pada 47-82% kehamilan tuba (Birge, 2015).

Penatalaksanaan Medis

Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat merusak integritas jaringan dan sel hasil konsepsi. Kandidat-kandidat penerima tatalaksana medis harus memiliki syarat-syarat berikut ini: keadaan hemodinamik yang stabil, bebas nyeri perut bawah, tidak ada aktivitas jantung janin, tidak ada cairan bebas dalam rongga abdomen dan kavum Douglas, harus teratur menjalani terapi, harus menggunakan kontrasepsi yang efektif selama 3-4 bulan pascaterapi, tidak memiliki penyakit-penyakit penyerta, sedang tidak menyusui, tidak ada kehamilan intrauterin yang koeksis, memiliki fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang normal, serta tidak memiliki kontraindikasi terhadap pemberian methotrexate. Berikut ini akan dibahas beberapa metode terminasi kehamilan ektopik secara medis (Birge, 2015)

a.       Methotrexate

Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan untuk terapi keganasan, termasuk penyakit trofoblastik ganas. Pada penyakit trofoblastik, methotrexate akan merusak sel-sel trofoblas, dan bila diberikan pada pasien dengan kehamilan ektopik, methotrexate diharapkan dapat merusak sel-sel trofoblas sehingga menyebabkan terminasi kehamilan tersebut. Seperti halnya dengan penatalaksanaan medis untuk kehamilan ektopik pada umumnya, kandidat-kandidat untuk terapi methotrexate harus stabil secara hemodinamis dengan fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang normal (Birge, 2015)

Harus diketahui pula bahwa terapi methotrexate maupun medis secara umum mempunyai angka kegagalan sebesar 5-10%, dan angka kegagalan meningkat pada usia gestasi di atas 6 minggu atau bila massa hasil konsepsi berdiameter lebih dari 4 cm. Pasien harus diinformasikan bahwa bila terjadi kegagalan terapi medis, pengulangan terapi diperlukan, dan pasien harus dipersiapkan untuk kemungkinan menjalani pembedahan. Selain itu, tanda-tanda kehamilan ektopik terganggu harus selalu diwaspadai. Bila hal tersebut terjadi, pasien harus sesegera mungkin menjalani pembedahan. Senggama dan konsumsi asam folat juga dilarang. Tentunya methotrexate menyebabkan beberapa efek samping yang harus diantisipasi, antara lain gangguan fungsi hepar, stomatitis, gastroenteritis dan depresi sumsum tulang. Beberapa prediktor keberhasilan terapi dengan methotrexate yang b-hCG, progesteron, disebutkan dalam literatur antara lain kadar aktivitas jantung janin, ukuran massa hasil konsepsi dan ada/tidaknya cairan bebas dalam rongga peritoneum. Namun disebutkan dalam sumber b-hCG-lah yang bermakna secara statistik. Untuk lain bahwa hanya kadar b-hCG serial dibutuhkan. Pada memantau keberhasilan terapi, pemeriksaan hari-hari pertama setelah dimulainya pemberian methotrexate, 65-75% pasien akan mengalami nyeri abdomen yang diakibatkan pemisahan hasil konsepsi dari tempat implantasinya (separation pain), dan hematoma yang meregangkan dinding tuba. Nyeri ini dapat diatasi dengan analgetik b-hCG umumnya tidak terdeteksi lagi dalam 14-21 hari nonsteroidal. setelah pemberian methotrexate. Pada hari-hari pertama pula massa hasil konsepsi akan tampak membesar pada pencitraan ultrasonografi akibat edema dan hematoma, sehingga jangan dianggap sebagai kegagalan terapi. b-hCG masih perlu diawasi setiapSetelah terapi berhasil, kadar minggunya hingga kadarnya di bawah 5 mIU/mL (Kopani, 2010)

Methotrexate dapat diberikan dalam dosis tunggal maupun dosis multipel. Dosis tunggal yang diberikan adalah 50 mg/m2 (intramuskular), sedangkan dosis multipel yang diberikan adalah sebesar 1 mg/kg (intramuskular) pada hari pertama, ke-3, 5, dan hari ke-7. Pada terapi dengan dosis multipel leukovorin ditambahkan ke dalam regimen pengobatan dengan dosis 0.1 mg/kg (intramuskular), dan diberikan pada hari ke-2, 4, 6 dan 8. Terapi methotrexate dosis multipel tampaknya memberikan efek negatif pada patensi tuba dibandingkan dengan terapi methotrexate dosis tunggal 9. Methotrexate dapat pula diberikan melalui injeksi per laparoskopi tepat ke dalam massa hasil konsepsi. Terapi methotrexate dosis tunggal adalah modalitas terapeutik paling ekonomis untuk kehamilan ektopik yang belum terganggu (Kopani, 2010);

b.      Actinomycin

Neary dan Rose melaporkan bahwa pemberian actinomycin intravena selama 5 hari berhasil menterminasi kehamilan ektopik pada pasien-pasien dengan kegagalan terapi methotrexate sebelumnya (Birge,2015)

c.       Larutan Glukosa Hiperosmolar

Injeksi larutan glukosa hiperosmolar per laparoskopi juga merupakan alternatif terapi medis kehamilan tuba yang belum terganggu. Yeko dan kawan-kawan melaporkan keberhasilan injeksi larutan glukosa hiperosmolar dalam menterminasi kehamilan tuba. Namun pada umumnya injeksi methotrexa tetap lebih unggul. Selain itu, angka kegagalan dengan terapi injeksi larutan glukosa tersebut cukup tinggi, sehingga alternatif ini jarang digunakan.

PenatalaksanaanBedah

Fernandez (1991) mengemukakan kriteria untuk menetapkan terapi hamil ektopik dengan cara non-operatif atau dengan tindakan operas isebagai berikut (Birge,2015).

Skor
1
2
3
Umur gestasi/minggu
Konsentrasi hCG
Progesterone
Nyeri perut
Hematosalping
Perdarahan intraperitonel
Lebih 8
Kurang 1000
Kurang 5
Tak ada
Kurang 1 cm
0
7 – 8
5000
5-10
Induksi
1-3 cm
1-100 cc
6
Lebih 5000 mIU/ml
Lebih 10
Spontan
Lebih 3
Lebih 100 cc

Jumlah skor diatas 6, dilakukan tindakan operasi laparaskopi atau laparatomi. Penatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan kehamilan tuba yang belum terganggu maupun yang sudah terganggu. Tentu saja pada kehamilan ektopik terganggu, pembedahan harus dilakukan secepat mungkin. Pada dasarnya ada 2 macam pembedahan untuk menterminasi kehamilan tuba, yaitu pembedahan konservatif, di mana integritas tuba dipertahankan, dan pembedahan radikal, di mana salpingektomi dilakukan. Pembedahan konservatif mencakup 2 teknik yang kita kenal sebagai salpingostomi dan salpingotomi. Selain itu, macam-macam pembedahan tersebut di atas dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi. Namun bila pasien jatuh ke dalam syok atau tidak stabil, maka tidak ada tempat bagi pembedahan per laparoskopi (Birge,2015).

a.       Salpingostomi

Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil konsepsi yang berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di sepertiga distal tuba fallopii. Pada prosedur ini dibuat insisi linear sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas hasil konsepsi, di perbatasan antimesenterik. Setelah insisi hasil konsepsi segera terekspos dan kemudian dikeluarkan dengan hati-hati. Perdarahan yang terjadi umumnya sedikit dan dapat dikendalikan dengan elektrokauter. Insisi kemudian dibiarkan terbuka (tidak dijahit kembali) untuk sembuh per sekundam. Prosedur ini dapat dilakukan dengan laparotomi maupun laparoskopi. Metode per laparoskopi saat ini menjadi gold standard untuk kehamilan tuba yang belum terganggu. (Birge,2015)

Sebuah penelitian di Israel membandingkan salpingostomi per laparoskopi dengan injeksi methotrexate per laparoskopi. Durasi pembedahan pada grup salpingostomi lebih lama daripada durasi pembedahan pada grup methotrexate, namun grup salpingostomi menjalani masa rawat inap yang lebih singkat dan insidens aktivitas trofoblastik persisten pada grup ini lebih rendah. Meskipun demikian angka keberhasilan terminasi kehamilan tuba dan angka kehamilan intrauterine setelah kehamilan tuba pada kedua grup tidak berbeda secara bermakna.(Birge,2015)

b.      Salpingotomi

Pada dasarnya prosedur ini sama dengan salpingostomi, kecuali bahwa pada salpingotomi insisi dijahit kembali. Beberapa literatur menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna dalam hal prognosis, patensi dan perlekatan tuba pascaoperatif antara salpingostomi dan salpingotomi.(Birge,2015)

c.       Salpingektomi

Reseksi tuba dapat dikerjakan baik pada kehamilan tuba yang belum maupun yang sudah terganggu, dan dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi. Salpingektomi diindikasikan pada keadaan-keadaan berikut ini:

-          kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu),

-          pasien tidak menginginkan fertilitas pascaoperatif,

-          terjadi kegagalan sterilisasi,

-          telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya,

-          pasien meminta dilakukan sterilisasi,

-          perdarahan berlanjut pascasalpingotomi,

-          kehamilan tuba berulang,

-          kehamilan heterotopik, dan

-          massa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm. (Birge,2015)

Reseksi massa hasil konsepsi dan anastomosis tuba kadang-kadang dilakukan pada kehamilan pars ismika yang belum terganggu. Metode ini lebih dipilih daripada salpingostomi, sebab salpingostomi dapat menyebabkan jaringan parut dan penyempitan lumen pars ismika yang sebenarnya sudah sempit. Pada kehamilan pars interstitialis, sering kali dilakukan pula histerektomi untuk menghentikan perdarahan masif yang terjadi. Pada salpingektomi, bagian tuba antara uterus dan massa hasil konsepsi diklem, digunting, dan kemudian sisanya (stump) diikat dengan jahitan ligasi. Arteria tuboovarika diligasi, sedangkan arteria uteroovarika dipertahankan. Tuba yang direseksi dipisahkan dari mesosalping (Kopani, 2010)

d.      Evakuasi Fimbrae dan Fimbraektomi
Bila terjadi kehamilan di fimbrae, massa hasil konsepsi dapat dievakuasi dari fimbrae tanpa melakukan fimbraektomi. Dengan menyemburkan cairan di bawah tekanan dengan alat aquadisektor atau spuit, massa hasil konsepsi dapat terdorong dan lepas dari implantasinya. Fimbraektomi dikerjakan bila massa hasil konsepsi berdiameter cukup besar sehingga tidak dapat diekspulsi dengan cairan bertekanan.(Kopani,2010)