Kimia Pernapasan
Pernapasan diartikan sebagai pertukaran gas oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2) antara badan dan lingkungan sekitarnya.. Pernapasan dibagi menjadi 4 proses yaitu:
1. Pertukaran udara paru-paru, yaitu keluar masuknya udara atmosfer dengan alveoli
2. Difusi O2 dan CO2 antara alveoli dan darah
3. Transport O2 dan CO2 ke dan dari sel-sel melalui darah
4. Pengaturan ventilasi
Terdapat perbedaan kandungan udara atmosfer dengan udara ekspirasi. Pada udara atmosfer (inspirasi) terdapat O2 20,96%, CO2 0,04%, dan nitrogen 79%, sisanya gas–gas lain yang secara fisiologis kurang berperan. Udara ekspirasi mengandung gas nitrogen yang kurang lebih sama dengan udara inspirasi, tetapi O2 turun 15 % sedangkan CO2 meningkat 5%
Difusi gas ke paru-paru
Udara inspirasi dapat melewati membran alveoli berdasarkan hukum fisika difusi akibat adanya perbedaan tekanan masing-masing gas. Tekanan gas disimbolkan sebagai P, misalnya PCO2. Sebagai gambaran pertukaran gas alveoli dengan darah dapat dilihat sebagai berikut:
PO2 di udara alveolar 107 mmHg
Po2 darah vena 40 mmHg
Adanya perbedaan tekanan sebesar 67 mmHg tersebut membuat aliran O2 dari alveolar paru ke darah vena. Sebaliknya dengan CO2:
PCO2 udara alveolar 36 mmHg
PCO2 darah vena 46 mmHg
Perbedaan tekanan sebesar 10 mmHg cukup untuk membuat CO2 mengalir dari darah ke paru-paru. Tekanan nitrogen antara darah vena dan paru relatif tidak berubah, sehingga dikatakan secara fisiologis dalam keadaan inert. Gas-gas yang masuk ke alveoli selanjutnya masuk ke darah arteri dengan cara difusi sederhana.
Transpor oksigen oleh darah
Oksigen beredar ke sel-sel tubuh dibawa oleh hemoglobin dengan ikatan yang sederhana bukan sebagai ikatan oksida, sesuai persamaan berikut :
Derajat kombinasi oksigen dengan hemoglobin atau disosiasi oksihemoglobin ditentukan oleh tekanan O2 pada media sekitar hemoglobin. Pada tekanan 100 mmHg atau lebih, Hb dalam keadaan tersaturasi total. Pada keadaan ini sekitar 1,34 ml O2 berkombinasi dengan 1 gram Hb, sehingga bila diasumsikan konsentrasi Hb pada darah sebanyak 14,5 g%, maka total oksigen yang dibawa sebagai oksihemoglobin sebesar 14,5 x 1,34 = 19,43ml%.
Hubungan antara saturasi oksigen dengan tekanan oksigen telah dapat dirumuskan dan ditunjukkan dengan kurva disosiasi oksihemoglobin. Bentuk kurva bervariasi tergantung tekanan CO2. Bentuk kurva pada tekanan CO2 40 mmHg menunjukkan keadaan fisiologis. Darah arteri yang mengandung O2 dengan tekanan 100 mmHg mengandung Hb yang tersaturasi 95-98%, pada keadaan ini hampir semua Hb membentuk oksiheoglobin. Peningkatan tekanan O2 selanjutnya hanya sedikit meningkatkan saturasi Hb.
Sejalan dengan tekanan O2 yang menurun, saturasi Hb menurun perlahan. Pada saat tekanan O2 menjadi 50 mmHg penurunan menjadi sangat cepat. Dalam jaringan yang terdapat O2 dengan tekanan 40 mmHg, oksihemoglobin terdisosiasi dan oksigen menjadi mudah digunakan oleh sel. Terdapat penurunan isi oksigen darah dari 20% menjadi hanya 15%. Penurunan ini masih menyisakan cadangan oksigen yang diperlukan pada keadaan paru-paru kekurangan oksigen.
Kurva disosiasi oksihemoglobin dapat bergeser ke kanan atau ke kiri. Pergeseran kurva disosiasi ke kanan mengakibatkan pembebasan oksigen yang lebih banyak dari oksihemoglobin, atau berarti mengurangi afinitas hemoglobin untuk oksigen. Sebaliknya pergeseran kek kiri menambah afinitas hemoglobin untuk oksigen. Pergeseran ke kanan dipengaruhi oleh faktor :
1. Peningkatan ion hidrogen atau penurunan pH. Hal ini terjadi pada larutan elektrolit dibandingkan pada larutan murni.
2. Peningkatan tekanan CO2 yang menyebabkan pembentukan asam karbonat meningkat. Asam yang meningkat ini menyebabkan penurunan pH.
3. Peningkatan suhu. Pada suhu yang meningkat saturasi hemoglobin menurun. Contoh pada PO2 100 mmHg, Hb tersaturasi 93% pada suhu 38°C, tetapi pada suhu 25°C tersaturasi 98%.
4. Peningkatan konsentrasi 2,3-bisfosfogliserat (BPG) eritrosit, dengan persamaan reaksi sebagai berikut :
Keadaan no 1-3 terjadi pada saat kebutuhan oksigen jaringan meningkat, akibatnya memperbesar pembebasan oksigen. Konsentrasi BPG yang meninggi terjadi pada keadaan tekanan atmosfer yang rendah. Pergeseran kurva disosiasi ke kanan oleh penigkatan tekanan CO2 dinamakan efek Bohr, terjadi akibat peninggian ion H akibat banyaknya asam karbonat.(lihat grafik 1)
Hemoglobin yang tidak mengandung oksigen (deoksigenated) mempunyai warna merah yang lebih gelap dibandingkan dengan oksihemoglobin, sehingga warna darah arteri lebih cerah daripada darah vena. Penurunan oksigenasi normal darah akan mengakibatkan warna kebiruan pada kulit disebabkan peningkatan Hbdeoksigenasi. Hal ini disebut sianosis, dan dapat terjadi pada keracunan sianida. Penampakan sianotik tergantung dari keadaan paling sedikit 5 g Hb deoksigenasi perdesiliter darah kapiler. Pada anemia berat, konsentrasi Hb demikian rendah sehingga tidak nampak sianotik. Pada keracunan gas CO terbentuk HbCO (karboksihemoglobin) yang berwarna merah cerry. Apabila hemoglobin telah berikatan dengan gas CO, maka O2 sukar terikat dengan Hb karena ikatan CO dengan Hb lebih besar (210 kali lebih cepat) daripada dengan O2. Jika gas CO terhirup sebesar 0,02% maka akan timbul pusing-pusing, apabila konsentrasi CO sampai 0,1% maka dapat timbul kematian dalam 4 jam.
Transpor CO2 darah.
CO2 dibawa oleh darah baik di sel atau di plasma. Sejumlah besar CO2 tidak secara fisik larut dalam plasma, tetapi terdapat dalam beberapa bentuk yaitu:
1. Sebagian kecil sebagai asam karbonat
2. Ikatan karbamino CO2 yang ditransportasikan dengan protein (terutama hemoglobin)
3. Sebagai bikarbonat yang berikatan dengan Na atau K
4. CO2 terlarut.
Walaupun jumlah CO2 yang terlarut secara fisik hanya kecil, tetapi berpengaruh pada keseimbangan persamaan reaksi berikut ini:
Reaksi diatas dikatalisis oleh enzim karbonik anhidrase suatu enzim kompleks zink-protein yang terdapat di eritrosit. Dalam jumlah yang sedikit, enzim ini ditemukan di otot, tubuklus renalis, pankreas, dan spermatozoa, sedangkan dalam jumlah besar enzim karbonik anhidrase terdapat di sel parietal lambung yang terlibat dalam sekresi HCl.
Efek pengubahan CO2 menjadi asam karbonat akan berpengaruh pada pH darah. Diketahui bahwa paru-paru dalam 24 jam harus mengeluarkan 20-40 liter 1N asam karbonat pada pH darah yang bervariasi, dan sebagian besar asam karbonat segera diubah menjadi bikarbonat yang berikatan dengan logam/kation seperti Na dan K. Rasio konsentrasi bikarbonat:asam karbonat (dihitung dengan persamaan Henderson-Hesselbalch) pada pH darah normal (7,40) harus berada pada perbandingan 20:1. Perubahan perbandingan konsentrasi tersebut akan berpengaruh pada pH darah yaitu isa menjadi asam (acidemia) atau basa (alkalemia).
Sistem buffer darah
Meskipun darah vena banyak mengandung CO2, tetapi adanya sistem buffer menyebabkan perubahan pH darah hanya 0,01-0,03 unit. Buffer darah ini antara lain oleh adanya protein plasma, hemoglobin, oksihemoglobin, bikarbonat, dan fosfat inorganik. Pada keadaan masuknya CO2 ke darah, maka terjadi pergeseran rasio asam menjadi garamnya, sehingga diperlukan kation. Efek pembufferan dalam hal ini lebih banyak dilakukan oleh protein plasma karena dapat melepaskan banyak kation, yaitu sebesar 10% dari sistem buffer. Sistem buffer fosfat yang terdapat dalam eritrosit bertanggung jawab sekitar 25% jumlah total CO2 yang masuk ke darah. Walau demikian buufer terpenting adalah sistem buffer oleh hemoglobin dan oksihemoglobin yang bertanggungjawab sekitar 60% pengangkutan CO2.
Sistem buffer oleh hemoglobin adalah berdasar kenyataan bahwa dalam bentuk oksi bersifat lebih asam daripada bentuk deoksi. Pada paru-paru, pembentukan oksihemoglobin dengan demikian harus melepaskan ion H yang bereaksi dengan bikarbonat membentuk asam karbonat. Karena tekanan CO2 yang rendah di paru-paru maka reaksi bergeser ke pembentukan CO2 yang kemudian dilepaskan lewat udara ekspirasi.
Meskipun tekanan O2 di jaringan rendah, tetapi bentuk oksihemoglobin akan melepaskan O2 ke sel dan terbentuk deoksihemoglobin (dibantu CO2;ingat efek Bohr). Pada saat yang sama CO2 hasil metabolisme memasuki darah, dan terbentuk H2CO3 yang selanjutnya membentuk ion H+ dan HCO3-. Hb tereduksi bertindak selaku anion menerima ion H+ membentuk Hb tereduksi-asam HHb. HHb selanjutnya masuk ke pulmo dan melepaskan H ion karena pembentukan asam yang lebih kuat oksihemoglobin. Ion yang terlepas kemudian bergabung dengan HCO3 ion membentuk asam karbonat yang selanjutnya membebaskan CO2 yang dilepaskan keluar melalui udara ekspirasi. (lihat gambar 1)
Telah dijelaskan di atas bahwa kapasitas buffer Hb sekitar 60% dan 25% lagi dari fosfat eritrosit, sehingga jumlah total kapasitas buffer darah 85%, terbesar dibandingkan plasma atau serum. Hampir semua CO2 berbentuk sebagai asam karbonat dengan bantuan enzim karbonik anhidrase yang terdapat di eroitrosit. Asam karbonat yang terbentuk di eritrosit kemudian dibuffer oleh fosfat dan hemoglobin dibantu oleh kalium. Ion bikarbonat yang terjadi kemudian kembali ke plasma bertukar dengan klorida ion, yang masuk ke eritrosit jika tekanan CO2 darah meningkat. Proses ini reversibel, dan dengan demikian klorida meninggalkan eritrosit menuju plasma jika tekanan CO2 menurun. Fakta ini ditunjukkan dengan kenyataan bahwa lebih banyak ion klorida di darah arteri daripada darah vena.
CO2 masuk ke sel eritrosit dari jaringan berbentuk asam karbonat. Sebagian asam karbonat kembali ke plasma, sisanya bereaksi dengan sistem buffer hemoglobin membentuk bikarbonat, kemudian kembali ke plasma bertukaran dengan klorida. Na-bikarbonat terbentuk di plasma dan ion klorida masuk ke sel bereaksi dengan kalium intrasel.
Pada keadaan normal sel eritrosit impermeabel terhadap natrium atau kalium, tetapi permeabel terhadap hidrogen, bikarbonat dan ion klorida. Kation intraselular (kalium) secara tidak langsung berperan dalam plasma karena pertukaran klorida (chlorida shift) Hal ini menguntungkan karena plasma dapat membawa kelebihan CO2 (dalam bentuk NaHCO3) (lihat gambar 2)
Gambar 1 Buffer Hemoglobin
Gambar 2. Chlorida Shift
Keseimbangan asam-basa
Telah dijelaskan di muka, bahwa pH darah tidak berpengaruh atau tetap normal selama rasio bikarbonat:asam karbonat= 20:1. Perubahan rasio ini akan membawa akibat berubahnya pH darah menjadi alkalosis atau asidosis. Kandungan asam karbonat (H2CO3) darah tergantung dari pasokan CO2 respirasi. Adanya gangguan dalam pasokan CO2 berakibat pada perubahan kadar asam karbonat. Perubahan ini disebut sebagai respiratorik. Asidosis respiratorik terjadi akibat penumpukan asam karbonat di darah, sedangkan alkalosis respiratorik terjadi apabila eliminasi CO2 berlebihan, sehingga terjadi pengurangan asam karbonat darah. Perubahan pH tak terjadi bila terjadi keseimbangan rasio bikarbonat:asam karbonat menjadi 20:1 kembali. Hal ini disebut asidosis atau alkalosis respiratorik terkompensasi. Penyesuaian rasio pada asidosis respiratorik dapat dilakukan oleh reabsorbsi bikarbonat oleh ginjal. Pada alkalosis respiratorik penyesuaian dilakukan dengan ekskresi bikarbonat ke urin.
Gangguan pH juga dapat terjadi karena perubahan kadar bikarbonat plasma, yang disebut sebagai metabolik. Asidosis metabolik terjadi jika terjadi penurunan bikarbonat yang berlebihan tanpa perubahan pada asam karbonat, sebaliknya alkalosis metabolik terjadi jika kadar bikarbonat berlebihan. Kompensasi dilakukan dengan cara pengubahan asam karbonat yaitu dengan eliminasi CO2 (hiperventilasi) pada kasus yang pertama atau retensi CO2 (depresi pernapasan) pada kasus kedua. Kandungan CO2 plasma terlihat lebih rendah pada asidosis metabolik dan lebih tinggi pada alkalosis metabolik. (lihat gambar 3)
Penyebab gangguan keseimbangan asam-basa dapat dikelompokkan menjadi kelompok berikut:
1. Asidosis metabolik disebabkan oleh penurunan bikarbonat pada diabetes tak terkontrol dengan ketosis, beberapa kasus muntah yang mengeluarkan cairan alkali, penyakit ginjal, keracunan garam asam, kehilangan berlebihan cairan intestinal pada diare atau kolitis, kehilangan berlebih elektrolit. Tanda penting bagi yang tak terkompensasi adalah hiperpneu.
2. Asidosis respiratorik disebabkan peningkatan relatif asam karbonat. Terjadi pada gagal napas seperti pneumonia, emfisema, congestive failure, asma, atau depresi pusat napas karena keracunan morfin.
3. Alkalosis metabolik terjadi karena peningkatan bikarbonat pada keadaan ingesti berlebihan alkali (seperti makan antasida pada kasus obstruksi pilorus), muntah berkepanjangan, kehilangan berlebih asam lambung pada kuras lambung (disebut sebagai hipokloremik alkalosis). Defisiensi kalium sering terjadi pada hipokloremik alkalosis, juga pada penyakit Cushing’s, dan selama pengobatan dengan kortikotropin atau kortison.
4. Alkalosis respiratorik terjadi pada penurunan asam karbonat. Hal ini terjadi pada keadaan hiperventilasi (histeri, gangguana sistem saraf pusat yang mengenai sistem pernapasan, tahap awal keracunan salisilat, penggunaan respirator) dan koma hepatikum.
Semua keadaan alkalosis tak terkompensasi ditandai dengan pernapasan yang dangkal dan lambat, urin mungkin alkali tapi biasanya memberi reaksi asam meskipun bikarbonat darah meningkat. Hal ini karena defisit natrium dan kalium yang mengikutinya.
Gangguan Keseimbangan Asam Basa
Pada kebanyakan situasi ketakseimbangan asam basa yang sederhana tersebut, fungsi normal dari paru-paru dan ginjal dapat diperkirakan. Juga kejadian simultan dari dua gangguan primer belum ditinjau, situasi semacam ini sering ditemui. Pada kasus-kasus seperti ini skema sederhana seperti pada tabel 1. di atas tidak berlaku, meski mekanisme kompensasi bekerja pada kapasitas penuh. Evaluasi sifat dan besaran kondisi-kondisi semacam ini memerlukan catatan-catatan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik menyeluruh bersama-sama dengan analisis data laboratorium. Contoh-contoh macam-macam gangguan tersebut diberikan dalam tabel 2. berikut.
Tabel 2. Contoh Gangguan dalam keseimbangan asam-basa
No. Kasus
|
pCO2 arteri
dalam
|
pH
|
Bikarbonat
(mmol/L)
|
Komentar
| |
mmHg
|
kPa
| ||||
1
|
40
|
(5,33)
|
7,40
|
24,5
|
Normal
|
2
|
25
|
(3,33)
|
7,60
|
24,5
|
Alakalosis respiratorik berat (penderita diberi pertukaram udara buatan)
|
3
|
31
|
(4,13)
|
7,51
|
24,5
|
Alakalosis respiratorik sedang (hiperventilasi ringan)
|
4
|
60
|
(8,00)
|
7,22
|
24,5
|
Asidosis respiratorik tidak terkompensasi, misal hipoventilasi akibat narkotik dengan dosis terlalu tinggi
|
5
|
60
|
(8,00)
|
7,37
|
35,0
|
Asidosis respiratorik terkompensasi sebagian oleh alkalosis metabolik (berasal renal), misal penderita dengan obstruksi paru-paru kronik
|
6
|
32
|
(4,27)
|
7,65
|
35,0
|
Campuran alkalosis dan metabolik, penderita dalam kasus 5 pada ventilasi mekanik diperpanjang
|
7
|
22
|
(2,93)
|
7,35
|
11,0
|
Asidosis metabolik dengan alakalosis respiratorik sekunder, misal penderita dengan diabetik berat
|
8
|
50
|
(6,67)
|
7,07
|
15,0
|
Campuran asidosis metabolik dan respiratorik misalnya penderita pada kasus 7 yang pertukaran udaranya sangat tertekan oleh sedasi berat.
|
Gambar 3. Perubahan Rasio karbonat dan bikarbonat pada asidosis dan alkalosis
0 comments:
Post a Comment