Kedokteran dan Kesehatan: Obstetri
Showing posts with label Obstetri. Show all posts
Showing posts with label Obstetri. Show all posts

Thursday, September 27, 2018

Upaya pemerintah dalam menurunkan AKI



Sebagai upaya penurunan AKI, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan sejak tahun 1990 telah meluncurkan safe motherhood initiative, sebuah program yang memastikan semua wanita mendapatkan perawatan yang dibutuhkan sehingga selamat dan sehat selama kehamilan dan persalinannya. Upaya tersebut dilanjutkan dengan program Gerakan Sayang Ibu di tahun 1996 oleh Presiden Republik Indonesia. Program ini melibatkan sektor lain di luar kesehatan. Salah satu program utama yang ditujukan untuk mengatasi masalah kematian ibu yaitu penempatan bidan di tingkat desa secara besar-besaran yang bertujuan untuk mendekatkan akses pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir ke masyarakat. Upaya lain yang juga telah dilakukan yaitu strategi Making Pregnancy Safer yang dicanangkan pada tahun 2000 (Kemenkes 2015).
Pada tahun 2012 Kementerian Kesehatan meluncurkan program Expanding Maternal and Neonatal Survival (EMAS) dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan neonatal sebesar 25%. Program ini dilaksanakan di provinsi dan kabupaten dengan jumlah kematian ibu dan neonatal yang besar, yaitu Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Dasar pemilihan provinsi tersebut disebabkan 52,6% dari jumlah total kejadian kematian ibu di Indonesia berasal dari enam provinsi tersebut, sehingga dengan menurunkan angka kematian ibu di enam provinsi tersebut diharapkan akan dapat menurunkan angka kematian ibu di Indonesia secara signifikan.
Program EMAS berupaya menurunkan angka kematian ibu dan angka kematian neonatal dengan cara :
1) meningkatkan kualitas pelayanan emergensi obstetri dan bayi baru lahir minimal di 150 Rumah Sakit PONEK dan 300 Puskesmas/Balkesmas PONED.
2) memperkuat sistem rujukan yang efisien dan efektif antar puskesmas dan rumah Sakit (Kemenkes 2015).
Upaya percepatan penurunan AKI dapat dilakukan dengan menjamin agar setiap ibu mampu mengakses pelayanan kesehatan ibu yang berkualitas, seperti pelayanan kesehatan ibu hamil, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih di fasilitas pelayanan kesehatan, perawatan pasca persalinan bagi ibu dan bayi, perawatan khusus dan rujukan jika terjadi komplikasi, kemudahan mendapatkan cuti hamil dan melahirkan, dan pelayanan keluarga berencana.
Gambaran upaya kesehatan ibu yang disajikan terdiri dari :
(1) Pelayanan kesehatan ibu hamil
(2) Pelayanan imunisasi Tetanus Toksoid wanita usia subur dan ibu hamil
(3) pelayanan kesehatan ibu bersalin
(4) pelayanan kesehatan ibu Nifas
(5) pelayanan/penanganan komplikasi kebidanan, dan
            (6) pelayanan kontrasepsi (Kemenkes 2015).

Friday, September 21, 2018

Angka Kematian Ibu di Indonesia



Penurunan AKI di Indonesia terjadi sejak tahun 1991 sampai dengan 2007, yaitu dari 390 menjadi 228. Namun demikian, SDKI tahun 2012 menunjukkan peningkatan AKI yang signifikan yaitu menjadi 359 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. AKI kembali menujukkan penurunan menjadi 305 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 (Kemenkes, 2015). Gambaran AKI di Indonesia dari tahun 1991 hingga tahun 2015 dapat dilihat pada gambar berikut
Angka kematian ibu di Indonesia tahun 1991-2015

Sumber: Profil Kesehatan Indonesia 2015

Angka Kematian Ibu di DI Yogyakarta

Jumlah Kematian Ibu, Bayi dan Balita di DIY
 
Sumber: Profil kesehatan DIY 2015
Tabel diatas menunjukkan bahwa jumlah kematian ibu di DIY tahun 2014 (40 ibu) mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2013 (46 ibu). Pada tahun 2015 penurunan jumlah kematian ibu sangat siknifikan yaitu sebesar 29 kasus. Penurunan jumlah kematian juga terjadi pada kematian neonatus, bayi dan balita. Penyebab kematian ibu yang  ditemukan di DIY antara lain yaitu karena Perdarahan (31%), Eklamsia (10%), PEB (17%), Sepsis (7%), Lain-lain (35%)


Angka Kematian Ibu di Kabupaten Bantul

Angka kematian ibu pada tahun 2015 lebih baik dibandingkan pada tahun 2014. Hal tersebut ditandai dengan turunnya angka kematian Ibu, jika pada Tahun 2014 sebesar 104,7/100.000 Kelahiran Hidup yaitu sejumlah 14 kasus, sedangkan pada tahun 2015 sebanyak 11 kasus sebesar 87,5/100.000. Target AKI tahun 2015 adalah 70/100.000 Kelahiran Hidup (Dinkes Bantul,2016).

Angka Kematian Ibu Per 100.000 Kelahiran Hidup Di Kabupaten Bantul Tahun 2011 - 2015

 
Sumber: Dinas Kesehatan Bantul 2016

Hasil Audit Maternal Perinatal (AMP) menyimpulkan bahwa penyebab kematian ibu pada Tahun 2015 adalah Pre Eklampsia Berat (PEB) sebanyak 36% (4 kasus), Perdarahan sebesar 36% (4 kasus), TB Paru 18% (2 kasus), dan Emboli air Ketuban 9% (1 kasus) (Dinkes Bantul, 2016).
Penyebab Kematian Ibu Tahun 2015

Sumber: Dinas Kesehatan Bantul 2016

 Penyebaran kasus kematian ibu di Kabupaten Bantul terjadi pada beberapa wilayah kecamatan, dengan jumlah kasus terbanyak dilaporkan terjadi di Puskesmas Imogiri 1 dan Puskesmas Imogiri 2 (Dinkes Bantul, 2016).
Penyebaran kasus kematian ibu di Kabupaten Bantul 2015

Angka Kematian Ibu Secara Global




Angka kematian ibu sangat tinggi didunia, diperkirakan 830 wanita meninggal karena komplikasi kehamilan atau persalinan di seluruh dunia setiap hari. Pada tahun 2015, sekitar 303.000 wanita meninggal selama dan setelah kehamilan dan persalinan. Hampir semua kematian yang terjadi sebagian besar bisa dicegah dengan upaya preventif.
Sejumlah negara di sub-Sahara Afrika mengurangi separuh tingkat kematian ibu mereka sejak tahun 1990. Di wilayah lain, termasuk Asia dan Afrika Utara, kemajuan yang lebih besar sedang dibuat. Jumlah kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup menurun hanya 2,3% per tahun antara 1990 dan 2015. Namun  penurunan mortalitas ibu hamil meningkat dari tahun 2000 dan seterusnya. Di beberapa negara, penurunan angka kematian ibu hamil antara 2000-2010 di atas 5,5% (WHO, 2015)

Gambaran angka kematian ibu didunia tahun 2015
Sumber: WHO 2015



Tingginya angka kematian ibu di beberapa wilayah di dunia mencerminkan ketidakadilan dalam akses terhadap layanan kesehatan, dan disini dapat terlihat adanya kesenjangan antara negara kaya dan miskin. Hampir semua kematian ibu (99%) terjadi di negara berkembang. Lebih dari setengah kematian ini terjadi di sub-Sahara Afrika dan hampir sepertiga terjadi di Asia Selatan.
Rasio kematian ibu di negara-negara berkembang pada tahun 2015 adalah 239 per 100.000 kelahiran hidup versus 12 per 100.000 kelahiran hidup di negara maju. Ada perbedaan yang cukup besar antar negara, tetapi juga di dalam suatu negara itu sendiri, dan antara perempuan dengan pendapatan tinggi dan rendah serta wanita yang tinggal di daerah pedesaan dan perkotaan. Risiko kematian ibu tertinggi terjadi pada remaja perempuan di bawah 15 tahun dan komplikasi pada kehamilan dan persalinan adalah penyebab utama kematian di kalangan remaja perempuan di negara berkembang (WHO,2015).
Penyebab kematian ibu di dunia tahun 2015
Sumber: UNICEF 2015


Perdarahan tetap menjadi penyebab utama kematian ibu hamil, kurang lebih dari seperempat  (27%) kematian. Proporsi kematian maternal yang serupa disebabkan secara tidak langsung oleh kondisi medis yang sudah ada yang diperparah oleh kehamilan. Penyakit hipertensi pada kehamilan, terutama eklampsia, serta sepsis, emboli dan komplikasi aborsi yang tidak aman juga menyebabkan sejumlah besar penyebab kematian.
Komplikasi yang menyebabkan kematian ibu dapat terjadi tanpa adanya suatu tanda-tanda dan bisa terjadi sewaktu-waktu selama kehamilan dan persalinan. Sebagian besar kematian maternal dapat dicegah jika selama kehamilan sampai kelahiran diawasi oleh petugas kesehatan seperti dokter, perawat atau bidan yang diawasi secara teratur, memiliki peralatan dan perlengkapan yang tepat, dan dapat merujuk ibu hamil pada waktu yang tepat untuk mendapatkan perawatan obstetri darurat saat terjadinya komplikasi. Komplikasi ini memerlukan akses cepat ke layanan kebidanan berkualitas yang dilengkapi dengan pengobatan yang memadai, termasuk antibiotik, dan kemampuan untuk menyediakan transfusi darah yang diperlukan untuk melakukan operasi caesar atau intervensi bedah lainnya (UNICEF, 2015).

Wednesday, September 12, 2018

Mioma Uteri



1.Definisi Mioma Uteri



Mioma uteri adalah tumor jinak pada daerah rahim atau lebih tepatnya otot rahim dan jaringan ikat di sekitarnya. Mioma belum pernah ditemukan sebelum terjadinya menarkhe, sedangkan setelah menopause hanya kirakira 10% mioma yang masih tumbuh. Neoplasma jinak ini berasal dari otot uterus dan jaringan ikat yang menumpangnya, sehingga dalam kepustakaan dikenal juga istilah fibromioma, leiomioma, atapun fibroid (Prawirohardjo, 2014).

Mioma juga sering disebut sebagai fibroid, adalah tumor jinak yang berkembang di dalam ataupun sekitar uterus. Istilah medis dari fibroid biasa disebut sebagai leiomyomas, adalah tumor pada jaringan otot yang tumbuh pada dinding uterus (Healthgrades 2013).

Sebagian besar kasus mioma uteri adalah tanpa gejala, sehingga kebanyakan penderita tidak menyadari adanya kelainan pada uterusnya. Hanya 10- 20% yang membutuhkan penanganan. Gejala klinik yang ditimbulkan terutama perdarahan menstruasi yang berlebihan, infertilitas, abortus berulang, dan nyeri akibat penekanan massa tumor (Thomason,2008).

Pengobatan mioma uteri dengan gejala klinik umumnya adalah tindakan operasi yaitu histerektomi ( pengangkatan rahim ) atau pada wanita yan ingin mempertahankan kesuburannya, miomektomi ( pengangkatan mioma ) dapat menjadi pilihan (Djuwantono, 2004).

Secara patologi, mioma uteri berbentuk bulat, putih mutiara, licin, dan kenyal. Mioma uteri tidak menyatu pada lapisan myometrium melainkan dilapisi jaringan ikat tipis di permukaan luarnya. Secara histologi, mioma uteri tersusun atas otot polos, jaringan ikat fibrosa, dan banyak pembuluh darah (Edmonds, 2007)



Sarang mioma di uterus dapat berasal dari serviks uterus dan hanya 1-3%, sisanya adalah dari korpus uterus. Maka pembagian menurut letaknya dapat kita dapati sebagai:



1.Mioma submukosum: berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga uterus. Mioma submukosum dapat tumbuh bertangkai menjadi polip, kemudian dilahirkan melalui saluran serviks dan disebut myom geburt. Myom jenis ini dapat mengalami infeksi dan nekrosis karena gangguan sirkulasi darahnya,sehingga menimbulkan gejala metroragia atau menoragia disertai leukore dan gangguan gangguan yang disebabkan oleh infeksi dari uterus itu sendiri. Myom geburt sendiri sering disalahartikan dengan kanker serviks

2.Mioma intramural: mioma terdapat di dinding uterus di antara serabut miometrium

3.Mioma subserosum: apabila tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada permukaan uterus, diliputi oleh serosa. Mioma subserosum dapat pula tumbuh menempel pada jaringan lain misalnya ke ligamentum atau omentum dan kemudian membebaskan diri dari uterus, sehingga disebut wandering/parasitic fibroid (Prawirohardjo, 2014).







Gambar 1. Letak-letak tumbuhnya mioma pada uterus (Miller-Keane, 2000)

 

2. Epidemiologi Mioma Uteri



Kejadian mioma uteri sebesar 20-40% pada wanita yang berusia lebih dari 35 tahun. Wanita yang sering melahirkan sedikit kemungkinannya untuk perkembangan mioma ini dibandingkan dengan wanita yang tidak pernah hamil atau hanya satu kali hamil. Statistik menunjukkan 60% mioma uteri berkembang pada wanita yang tidak pernah hamil atau hanya satu kali hamil. Prevalensi meningkat apabila ditemukan riwayat keluarga, ras dan nulipara. Mioma uteri terjadi pada 10% wanita ras kaukasia dan 30% wanita kulit hitam. Predisposisi genetik dan faktor-faktor lingkungan (misalnya, variasi hormon) dapat menjadi pencetusnya. Setelah menopause, mioma menyusut karena stimulasi estrogen sudah menurun. Sekitar 1 dari 1000 kasus mioma merupakan leiomiosarkoma atau karsinoma (Sinclair dkk, 2010)..

Mioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma ditemukan hanya 0,32%-0,6% dari seluruh mioma dan merupakan 50-75% dari semua sarkoma uterus (Prawirohardjo, 2007). Studi yang dilakukan oleh Ekine dkk (2015) menyebutkan bahwa angka kejadian gangguan reproduksi di negara berkembang mencapai 36% dari total beban sakit yang diderita selama masa produktif. Diperkirakan insiden mioma uteri sekitar 20% -35% dari seluruh wanita di dunia (Ekine et al., 2015).

.National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion periode 1994-1999, melaporkan bahwa mioma uteri merupakan salah satu penyebab dilakukannya tindakan histerektomi pada wanita Amerika usia reproduktif 7.403 dari 3.525.237 histerektomi atau sekitar 2,1 per 1000 wanita.Menurut Center of Disease Prevention and Control (CDC) Tahun 2013 yang dikutip dari Rawal Medical Journal menyebutkan bahwa tindakan histerektomi dilakukan pada sekitar 5 per 1000 wanita Amerika setiap tahun (Bhati, 2013).





3. Etiologi Mioma Uteri



Meskipun penyebab pasti dari mioma belum diketahui, penelitian lebih lanjut menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya mioma uteri, yaitu: faktor hormonal, faktor pertumbuhan (growth factor), dan biologi molekuler dari tumor jinak ini. Faktor-faktor ini yang kemungkinan berperan pada inisiasi perubahan genetik pada mioma termasuk kelainan abnormal intrinsik pada miometrium, kenaikan jumlah receptor estrogen di miometrium, perubahan hormonal atau respon terhadap inflamasi pada saat menstruasi. Perubahan genetik ini dipengaruhi oleh promotor (hormon) dan efektor (faktor pertumbuhan).



Mioma merupakan monoklonal dimana sekitar 40% kromosomnya ditemukan abnormalitas, sementara 60% sisanya mengalami mutasi yang tidak diketahui. Perbedaan genetik antara mioma dan leiomiosarkoma menunjukkan bahwa keduanya berasal dari sel yang berbeda dan leiomiosarkoma bukan merupakan hasil dari degenerasi malignansi mioma. Baik estrogen maupun progesteron diduga berperan dalam inisiasi terjadinya perkembangan mioma. Sementara faktor pertumbuhan yang diproduksi oleh sel otot lunak dan fibroblas berperan dalam mengontrol proliferasi dan stimulasi pertumbuhan mioma (Parker, 2007).



4.  Gejala pada Mioma Uteri



Walaupun munculnya mioma tidak pernah dikaitkan dengan mortalitas, tetapi mioma dapat meningkatkan morbiditas dan mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Gejala-gejala yang umumnya timbul yang patut dicurigai ke arah terjadinya mioma uteri antara lain:

- Perdarahan abnormal, biasanya menoragia, keluhan ini yang biasanya mendorong pasien untuk memeriksakan diri



- Periode menstruasi >7 hari



- Nyeri pelvis



- Gangguan berkemih seperti sulit berkemih tuntas, nokturia, inkontinensia urin



- Konstipasi



- Nyeri punggung, ataupun nyeri pada tungkai atas (mayoclinic).



Pada mioma geburt gejala yang menonjol berupa perdarahan pervaginam diantara siklus haid yang bervariasi mulai dari perdarahan bercak hingga perdarahan massif. Darah yang keluar berupa darah segar dan kadang disertai nyeri sehingga dapat diduga sebagai haid yang memanjang. Selain itu mioma submukosa juga dapat menyebabkan perdarahan  intermenstrual, perdarahan post coital, perdarahan vaginal terus menerus atau dismenore (Prawirohardjo, 2014).



5. Penegakan Diagnosis pada Mioma Uteri



Leiomioma dapat dikaitkan dengan ketidakteraturan menstruasi, nyeri, dan infertilitas. Oleh karena itu, diperlukan diagnosis banding berbasis gejala secara menyeluruh seperti tertera pada tabel yang diambil dari Kate E. Rice, 2012 berikut




Diagnosis mioma geburt dapat ditegakkan mulai dari anamnesis, dimana pasien bisa meraba suatu massa yang menonjol keluar dari jalan lahir yang dirasakan bertambah panjang serta adanya riwayat perdarahan pervginam terutama pada perempuan pada usia 40 tahun, kadang juga dikeluhkan perdarahan kontak seperti saat berhubungan seksual.

Pada pemeriksaan laboratorium, temuan anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini disebabkan perdarahan uterus yang banyak dan habisnya cadangan zat besi. Kadang-kadang mioma menghasilkan eritopoetin yang pada beberapa kasus meyebabkan polisetemia. Adanya hubungan antara polisitemia dengan penyakit ginjal diduga akibat penekanan mioma terhadap ureter yang menyebabkan peninggian tekanan balik ureter dan kemudian menginduksi pembentukan eritropoetin ginjal. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan darah lengkap, urin lengkap dan tes kehamilan pada pasien mioma (Prawirohardjo, 2014).

Secara klinis mioma subserosa dan intramural dapat didiagnosa dari pemeriksaan pada pelvis dengan temuan adanya perbesaran, bentuk abnormal dan irregular, dan non tender pada uterus. Pemeriksaan dengan USG tidak diperlukan jika diagnosis hampir pasti dapat ditegakkan. Tetapi umumnya untuk mioma submukosa diperlukan konfirmasi hasil pemeriksaan dengan pencitraan seperti USG, histeroskopi, saline-infusion sonography atau MRI untuk menegakkan diagnosa (Parker, 2007).

Pencitraan dengan radiologi juga dapat dilakukan untuk mendukung diagnosa mioma uteri. Pencitraan radiologi yang dapat dilakukan antara lain USG, saline infusión sonography, histeroskopi dan MRI. USG transvaginal adalah pencitraan yang paling sering tersedia dan paling murah dalam segi biaya dan membantu dalam membedakan mioma dengan kondisi lain dari pelvis. Mioma dengan ukuran yang besar mungkin lebih baik bila dicitrakan dengan kombinasi antara USG transabdominal dan transvaginal. Hasil USG pada mioma dapat bervariasi, tetapi umumnya kesan simetris, batas tegas, hipoekoik, dan massa yang heterogen. USG mungkin tidak adekuat dalam menentukan pastinya berapa jumlah mioma yang ada dan posisi dari mioma, tetapi USG transvaginal dapat menentukan dengan syarat volume uterus <375ml atau berisi empat mioma atau lebih sedikit.

MRI adalah alat yang paling baik saat ini untuk menentukan jumlah, posisi dan ukuran dari mioma uteri dan mempunyai modalitas paling baik untuk melihat penetrasi dari mioma submukosa pada miometrium. Keunggulan MRI lainnya adalah tidak adanya ketergantungan terhadap teknik yang dilakukan oleh operator dan rendahnya tingkat perbedaan dalam pembacaan interpretasi oleh pemeriksa dari gambaran mioma submukosa, mioma intramural dan adenomiosis dibandingkan dengan menggunakan USG transvaginal, saline-infusion sonogram ataupun histeroskopi (Parker, 2007)



6. Penatalaksanaan Mioma Uteri



Tidak semua mioma uteri memerlukan pembedahan, 55% dari semua mioma uteri tidak membutuhkan suatu pengobatan dalam bentuk apa pun, terutama apabila mioma itu masih kecil dan tidak menimbulkan gangguan. Walaupun demikian mioma uteri memerlukan pengamatan setiap 3-6 bulan. Penanganan mioma uteri menurut usia, paritas, lokasi dan ukuran tumor terbagi menjadi:

1.Terapi medisinal (hormonal)

Saat ini pemakaian Gonadotropin-releasing hormone (GnRH) agonis memberikan hasil yang baik memperbaiki gejala klinis mioma uteri. Tujuan pemberian GnRH agonis adalah mengurangi ukuran mioma dengan jalan mengurangi produksi estrogen dari ovarium. Pemberian GnRH agonis sebelum dilakukan tindakan pembedahan akan mengurangi vaskularisasi pada tumor sehingga akan memudahkan tindakan pembedahan. Terapi hormonal yang lainnya seperti kontrasepsi oral dan preparat progesteron akan mengurangi gejala pendarahan tetapi tidak mengurangi ukuran mioma uteri (Hadibroto, 2005).



2.Terapi pembedahan

Indikasi terapi bedah untuk mioma uteri menurut American College of obstetricians and Gyneclogist (ACOG) dan American Society of Reproductive Medicine (ASRM) antara lain:



a.                   Perdarahan uterus yang tidak respon terhadap terapi konservatif



b.                  Dugaan adanya keganasan



c.                   Pertumbuhan mioma pada masa menopause



d.                  Infertilitas kerana gangguan pada cavum uteri maupun karena oklusi tuba



e.                   Nyeri dan penekanan yang sangat menganggu



f.                   Gangguan berkemih maupun obstruksi traktus urinarius



g.         Anemia akibat perdarahan (Hadibroto,2005).





Tindakan pembedahan yang dilakukan adalah miomektomi atau histerektomi.

1.      Miomektomi

Miomektomi adalah pengambilan sarang mioma saja tanpa pengangkatan uterus. Miomektomi ini dilakukan pada wanita yang ingin mempertahankan fungsi reproduksinya dan tidak ingin dilakukan histerektomi. Tindakan ini dapat dikerjakan misalnya pada mioma submukosum dengan cara ekstirpasi lewat vagina. Apabila miomektomi ini dikerjakan karena keinginan memperoleh anak, maka kemungkinan akan terjadi kehamilan adalah 30-50% (Prawirohardjo, 2014). Tindakan miomektomi dapat dilakukan dengan laparotomi, histeroskopi maupun dengan laparoskopi. Pada laparotomi, dilakukan insisi pada dinding abdomen untuk mengangkat mioma dari uterus. Keunggulan melakukan miomektomi adalah lapangan pandang operasi yang lebih luas sehingga penanganan terhadap perdarahan yang mungkin timbul pada pembedahan miomektomi dapat ditangani dengan segera. Namun pada miomektomi secara laparotomi resiko terjadi perlengketan lebih besar, sehingga akan mempengaruhi faktor fertilitas pada pasien, disamping masa penyembuhan paska operasi lebih lama, sekitar 4-6 minggu. Pada miomektomi secara histeroskopi dilakukan terhadap mioma submukosum yang terletak pada kavum uteri. Keunggulan teknik ini adalah masa penyembuhan paska operasi sekitar 2 hari. Komplikasi yang serius jarang terjadi namun dapat timbul perlukaan pada dinding uterus, ketidakseimbangan elektrolit dan perdarahan. Miomektomi juga dapat dilakukan dengan menggunakan laparoskopi. Mioma yang bertangkai diluar kavum uteri dapat diangkat dengan mudah secara laparoskopi. Mioma subserosum yang terletak didaerah permukaan uterus juga dapat diangkat dengan tehnik ini. Keunggulan laparoskopi adalah masa penyembuhan paska operasi sekitar 2-7 hari. Resiko yang terjadi pada pembedahan ini termasuk perlengketan, trauma terhadap organ sekitar seperti usus, ovarium, rektum serta perdarahan. Sampai saat ini miomektomi dengan laparoskopi merupakan prosedur standar bagi wanita dengan mioma uteri yang masih ingin mempertahankan fungsi reproduksinya (Hadibroto, 2005).



2.      Histerektomi

Histerektomi adalah pengangkatan uterus, yang umumnya adalah tindakan terpilih (Prawirohardjo, 2014). Tindakan histerektomi pada mioma uteri sebesar 30% dari seluruh kasus. Histerektomi dijalankan apabila didapati keluhan menorrhagia, metrorrhagia, keluhan obstruksi pada traktus urinarius dan ukuran uterus sebesar usia kehamilan 12-14 minggu (Hadibroto, 2005). Tindakan histerektomi dapat dilakukan secara abdominal (laparotomi), vaginal dan pada beberapa kasus dilakukan laparoskopi. Histerektomi perabdominal dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu total abdominal hysterectomy (TAH) dan subtotal abdominal histerectomy

(STAH). Masing - masing prosedur ini memiliki kelebihan dan kekurangan. STAH dilakukan untuk menghindari resiko operasi yang lebih besar seperti perdarahan yang banyak, trauma operasi pada ureter, kandung kemih dan rektum. Namun dengan melakukan STAH kita meninggalkan serviks, di mana kemungkinan timbulnya karsinoma serviks dapat terjadi. Pada TAH, jaringan granulasi yang timbul pada tungkul vagina dapat menjadi sumber timbulnya sekret vagina dan perdarahan paska operasi di mana keadaan ini tidak terjadi pada pasien yang menjalani STAH. Histerektomi juga dapat dilakukan pervaginam, dimana tindakan operasi tidak melalui insisi pada abdomen. Secara umum histerektomi vaginal hampir seluruhnya merupakan prosedur operasi ekstraperitoneal, dimana peritoneum yang dibuka sangat minimal sehingga trauma yang mungkin timbul pada usus dapat diminimalisasi. Maka histerektomi pervaginam tidak terlihat parut bekas operasi sehingga memuaskan pasien dari segi kosmetik. Selain itu kemungkinan terjadinya perlengketan paska operasi lebih minimal dan masa penyembuhan lebih cepat dibanding histerektomi abdominal (Hadibroto, 2005).



7. Komplikasi Mioma Uteri

              Komplikasi yang terjadi pada mioma uteri :

a) Degenerasi Ganas

Mioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma ditemukan hanya 0,32-0,6% dari seluruh mioma, serta merupakan 50-75% dari semua sarkoma uterus. Keganasan umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan histologi uterus yang telah diangkat. Kecurigaan akan keganasan uterus apabila mioma uteri cepat membesar dan apabila terjadi pembesaran sarang mioma dalam menopause.

b) Torsi (Putaran Tangkai)

Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul gangguan sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis. Dengan demikian terjadilah sindrom abdomen akut. Jika torsi terjadi perlahan-lahan, gangguan akut tidak terjadi. Hal ini hendaknya dibedakan dengan suatu keadaan di mana terdapat banyak sarang mioma dalam rongga peritoneum.

c) Nekrosis dan Infeksi

Sarang mioma dapat mengalami nekrosis dan infeksi yang diperkirakan karena gangguan sirkulasi darah padanya. Misalnya terjadi pada mioma yang dilahirkan hingga perdarahan berupa mtroragia atau menoragia disertai leukorea dan gangguangangguan yang disebabkan oleh infeksi dari uterus sendiri.

d) Mempengaruhi kehamilan
Mengurangi kemungkinan perempuan menjadi hamil, terutama miomauteri submukosum. Kemungkinan abortus juga akan bertambah. Kelainan letak janin dalam rahim kemungkinan juga dapat terjadi, terutama pada mioma yang besar dan letak subserosum (Prawirohardjo, 2014).