Endocervisitis
adalah peradangan pada mukosa dan kelenjar dari serviks yang terjadi setelah
aktivitas intercouse pada kelenjar cervicalis, setelah terjadinya aborsi,
manipulasi intrauterina atau persalinan pervaginam. Jika tidak diterapi, maka
infeksi mungkin meluas menuju uterus, tuba falopi dan cavitas pelvis.
Peradangan dapat mengiritasi jaringan servikal yang berakibat terjadinya
spotting atau perdarahan dan cervicitis mucopurulen (Brunner & Suddarth's, 2010).
Tanda
dan Gejala Endocervicitis
Cervicitis akut: Kotoran vagina
tebal dan tebal. Cervicitis kronis: Sedikit sering terjadi keputihan yang tidak
kentara. Sakit punggung. Ketidaknyamanan dengan buang air kecil.
Ketidaknyamanan dengan hubungan seksual. Cervicitis kronis yang ekstensif:
Keputihan vagina. Perdarahan di antara periode menstruasi. Bercak atau berdarah
setelah melakukan hubungan seksual
Pemeriksan
Swab
Pemeriksaan: Swab
diambil dari sekret dan dianalisis untuk mengidentifikasi mikroorganisme yang menginfeksi.
Tes yang paling akurat adalah dengan pemeriksaan kultur di laboratorium, namun
hasil tes dapat diambil dalam tiga hari. Beberapa tes cepat telah dikembangkan
untuk mendeteksi protein bakteri atau virus (Chlamydia atau herpes), dan gram stain adalah tes cepat untuk
gonore. Pengujian bisa dilakukan pada saat kontrol. Chlamydia, sulit dibedakan
dengan gonore karena gejalanya sangat mirip dan sering terjadi bersamaan.
Karena itu, banyak dokter lebih suka menggunakan kedua metode pengujian untuk
meningkatkan akurasi diagnosis.
A. Endokrinologi Periode Pre-Menopause
Ada beberapa
manifestasi klinis yang menandakan mulainya periode premenopause yang membuat
wanita dan dokter sadar bahwa periode reproduktif telah berhenti. Siklus
mensruasi yang ireguler atau tidak teratur adalah hal paling jelas dan
berhubungan langsung dengan malfungsi dari ovarium. Perdarahan uterus abnormal
sampai dengan perdarahan yang lebih serius adalah tanda umum lain dari mulainya
periode premenopause yang mungkin terjadi bersamaan dengan menstruasi tetapi
lebih sering dikaitkan dengan patofisiologi dari oligomenorea. Manifestasi
subfertil ditandai dengan keterambatan atau kurangnya konsepsi akibat ovulasi
yang jarang terjadi atau fase luteal yang tidak cukup pada siklus yang panjang
juga menjadi tanda tidak langsung terjadinya insufisiensi ovarium. Tingginya
frekuensi aborsi dan malformasi diamati dengan meningkatya kejadian pada dekade
ke lima kehidupan seorang wanita yang juga menunjukkan adanya kemunduran sistem
genital, termasuk kualitas genetik dari ovum. Gejala vasomotor, hot flushes dan berkeringat selama siklus
menstruasi merupakan tanda awal tetapi menjadi gejala yang tidak tetap dari
premenopause (Batrinos ML, 2013).
Pada wanita,
penurunan sistem reproduksi dan disertainya kemunduran endokrin terjadi pada
usia akhir tiga puluhan atau awal empat puluhan, dengan penipisan tiba-tiba
dari unit fungsional ovarium, folikel dengan periode transisi yang unik sampai
siklus mens berakhir (Batrinos ML, 2013).
Jumlah folikel yang
menurun, yakni sumber dari hormon ovarium yang mendesak untuk memodulasi umpan
balik hipothalamus dan hipofisis, berakibat pada terjadinya ketidakteraturan
hormonal yang mengganggu sumbu hipothalamus-hipofisis-ovarium sehingga terjadi
status edokrin yang tidak menentu dan terjadinya kelainan klinis (Batrinos ML,
2013).
Gonadotropin releasing hormone (GnRH) dari axis pituitari dan ovarium mengontrol hormon
dan fungsi reproduksi dari ovarium yang dipengaruhi oleh aksi umpan balik dari
hormon ovarium estradiol (E2) dan progesteron (PG). Tiga peptida dari hormon
ovarium yakni inhibin, activin dan follistatin memodulasi aksi dari poros
hipothalamus-pituitari-ovarium (Batrinos ML, 2013).
Inhibin di sekresi
oleh sel granulosa yang distimulasi oleh FSH dan juga ditemukan di pituitari
gonadotropin. Inhibin terdiri dari 2 peptida yakni inhibin A dan inhibin B.
Inhibin B bertugas mengurangi sintesis dan sekresi dari FSH dan jumlah dari
reseptor GnRH di pituitari dan menghambat pertumbuhan dari folikel antral di
ovarium (Makanji Y, dkk, 2011).
Activin diproduksi
oleh hipofisis dan sel granulosa ovarium dan terdapat pada beberapa jaringan
lainnya. Activin menambah sekresi dari FSH dengan meningkatkan pembentukan
reseptor GnRH. Activin bekerja dengan menghambat pituitari pada hormon
pertumbuhan, prolaktin dan ACTH. Pada ovarium, activin menambah jumlah dari
reseptor FSH pada sel granulosa, meningkatkan aromatisasi pada androgen untuk
sintesis estrogen dan memproduksi inhibin (Batrinos ML, 2013).
Follistatin adalah
hormon peptida yang disekresi oleh gonadotropin dan sel pituitari lainnya. Follistatin
bekerja sebagai inhibitor kuat pada sintesis dan sekresi dari FSH. Follistatin
bekerja dengan berikatan dengan activin sehingga dapat menetralkan aksi
stimulasi dari activin. Follistatin terdapat pada sel granulosa sebagai respon
terhadap FSH (Batrinos ML, 2013).
Kenaikan FSH pada
wanita usia akhir tiga puluhan atau awal empat puluhan dianggap sebagai tanda
dari penuaan ovarium tanpa melihat usia dan dalam praktik klinis sebagai
indikator dari kapasitas ovarium untuk merespon pengobatan dengan fertilisasi
in vitro (Batrinos ML, 2013).
Pola sekresi hormonal
pada premenopause menjadi dasar manifestasi klinis. Menstruasi yang tidak
teratur sering terjadi, tidak dapat diprediksi dan sangat tergantung individu.
Siklus ovulasi dengan durasi yang normal atau durasi yang lama dapat disertai
siklus anovulasi atau siklus dengan fase luteal yang tidak cukup atau periode
amenore (Batrinos ML, 2013).
0 comments:
Post a Comment